Kamis, 25 Januari 2018

NISBAH PERBUATAN


Dalam sejarah perjuangan Rasulullah Saw. di Makah khususnya, beliau tidak pernah mendoakan kaum quraisy dan orang-orang yang menyakitinya, melainkan: “Ya Allah ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.” Ini doa beliau untuk mereka.
Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang Rasul Rahmatan Lil’alamin, tercermin pada sifat-sifat beliau yang penuh dengan cinta kasih terhadap umatnya. Buktinya, beliau tidak pernah berdoa untuk kehancuran orang-orang Kafir Quraisy yang sepanjang hidupnya mengganggu dan menyakiti. Ini disebabkan, beliau selalu memandang dan menisbahkan semua perbuatan pada kehendak Allah SWT. Keyakinan beliau, hanya Allah yang menjadi sumber setiap perbuatan yang tercipta di alam ini.
Sifat beliau ini dapat dijadikan cermin bagi orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)

Hidayah
Jika orang yang menuju kepada Allah memiliki kesadaran untuk
mengamalkan sebagaimana yang dicontohkan beliau, maka kesadaran tersebut harus dipahami sebagai hidayah dari Allah, yang harus dipelihara dan dikembalikan pula kepada-Nya. Hidayah adalah anugerah dan rahmat, sebagai wujud cinta kasih Allah kepada hamba-Nya.
Dengan hidayah tersebut, seseorang dapat mengatasi syirik yang meliputi perjalanan menuju kepada-Nya. Dengan hidayah itu pula, seseorang dapat membangun kesadaran di dalam memandang dan meyakini segala wujud majazi (metafora) itu fana. Yakni sesuatu yang tampak secara kasat mata maupun mata hati, sirna di bawah Nur Wujud Allah yang merupakan Wujud hakiki. Inilah yang dinamakan syuhud.
Syuhud adalah memahami segala perbuatan makhluk bersumber dari Allah SWT. Untuk mencapainya, harus melalui proses mengamalkan pemahaman tersebut, kendatipun pemahaman itu tumbuh secara bertahap sampai benar-benar yakin, Jika syuhud telah terpelihara di dalam hati, maka pada akhirnya akan merasakan pula lezatnya musyahadah.
Musyahadah itu penyaksian terhadap sesuatu dan dikembalikan kepada Allah. Penyaksian di sini, “melihat” secara jelas perbedaan antara lahir dan batin pada diri sesuatu, yang keduanya tidak bercampur dalam satu wujud, juga tidak berpisah dalam lain wujud. Jika telah mengalami musyahadah, maka proses selanjutnya mengantarkan seseorang pada maqam (tingkatan) Wihdatul Af’al.
Baik & Buruk
Pengertian Wihdatul Af’al ialah ke-Esa-an Allah dalam segala perbuatan. Pada maqam ini, terjadi fana atau peniadaan pada perbuatan makhluk, baik perbuatan sendiri maupun orang lain, bahkan semua perbuatan yang dilakukan oleh makhluk, seluruhnya fana di bawah Perbuatan Allah SWT.
Dengan pengertian, manakala perbuatan makhluk dihadapkan kepada Perbuatan Allah niscaya perbuatan makhluk itu menjadi lenyap tidak kelihatan, seperti lampu pijar 5 watt yang nyala disiang hari dan dihadapkan pada cahaya matahari. Begitu pula seluruh perbuatan yang terjadi di alam semesta, apakah perbuatan itu baik atau buruk, semuanya dilihat sebagai Perbuatan Allah SWT.
Fakta dalam kehidupan, sering terjadi benturan pemahaman dalam pengamalan tauhidul af’al, seperti menyikapi semua perbuatan baik maupun buruk harus dikembalikan kepada Allah.
Karena pada persoalan ini, masih banyak orang yang melihat perbuatan Allah itu hanya dari sisi pengagungan, artinya melihat Allah hanya dari persoalan yang baik-baik saja sesuai kacamata makhluk, seperti perbuatan baik yang meliputi makhluk dapat dengan mudah dinisbahkan kepada
Allah dan setiap orang bisa menerimanya secara aksiomatis.
Berbeda dengan perbuatan tercela, banyak orang tidak menerima jika perbuatan buruk yang keluar dari makhluk dinisbahkan kepada Allah. Padahal baik dan buruk itu hanya sebuah nama yang menjadi simbol hukum dalam menentukan sikap sebagai paradigma syariat.
Perlu dipertegas di sini, tauhid itu lepas dari ikatan hukum
lahiriah, meskipun tidak keluar dan lepas dari rangkaian tali-tali Syariat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Adapun yang menjadi dalil untuk mengatakan bahwa perbuatan tidak baik tersebut juga bersumber dari Allah SWT adalah sebagaimana hadis Nabi Saw. dalam doanya yang termaktub pada Kitab Addurun Nafis: “Ya Tuhanku. Sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.”
Doa ini, dapat ditafsirkan sebagai permintaan beliau dalam berlindung kepada Allah, dari segala bentuk kejahatan yang datangnya juga dari Allah. Seandainya kejahatan itu bukan dari Allah, tentu saja Nabi kita tidak akan berdoa dengan doa seperti itu.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa segenap perbuatan, baik dan buruk pada dasarnya berasal dari Yang Satu yaitu Allah SWT, hal ini juga ditegaskan dalam Alquran “Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (An Nisaa’: 78).
Ayat ini bila ditafsirkan, mengandung pengertian yang sama dengan doa Nabi Saw. yakni Allah menyuruh: “Katakanlah Ya Muhammad. Bahwa semua kebajikan dan kejahatan itu datangnya dari Allah.”
Di antara arifin billah (orang yang telah mengenal Allah), ketika menggambarkan perbuatan baik dan buruk yang ada di alam semesta ini, membuat ilustrasi hubungan antara hamba dengan Tuhan, melalui perumpamaan wayang dengan dalang.
Hamba diumpamakan sebagai wayang sedangkan Tuhan diumpamakan sebagai dalangnya. Wayang bergerak ke sana ke mari dan menjalankan perannya sesuai dengan keinginan sang dalang. Demikian juga makhluk,perbuatannya selalu di bawah kendali Sang Khalik.
Perumpamaan ini hanya sekedar mendekatkan paham saja, bukan pada yang sebenarnya. Maha Suci Allah dari segala perumpamaan yang tidak layak bagi diri-Nya. Gambaran pemahaman tersebut, kendati di satu sisi sebagai upaya mengarahkan pemahaman yang tidak harus dimaknai secara hakiki.
Namun di sisi lain, adalah contoh pelajaran kepada para pejalan yang sedang menuju Allah, agar di dalam mempelajari ilmu tauhid dan hakikat tidak melanggar syariat Nabi Besar Kita Muhammad Saw. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33)
Sebab, jika memahami secara utuh tentang perumpamaan wayang dengan dalang, maka dapat diketahui pada hakikatnya wayang itu tidak punya perbuatan apapun, terlebih cerita dan perjalanan hidup, semua perbuatan dan cerita itu milik sang dalang yang membuat skenario mulai dari kata hingga cerita.
Wayang hanya sekedar benda mati yang dihidupkan oleh yang hidup (dalang), maka bagaimana wayang bisa mengakui punya sesuatu, tidak punya sesuatu saja, tidak punya. “LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL ‘ALIYYIL ‘AZHIIM” (Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).
Zindik & Murtad
Jika telah mengerti hakikat perumpamaan tersebut, maka seyogianya dalam kondisi apapun, wajib bagi para salik mengerjakan segala perintah dan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya dengan bimbingan seorang Mursyid.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59).
Karena, siapa pun orang yang sudah sampai pada maqam ruhaniah tertentu, dan seberapa pun tinggi maqam yang telah dicapainya, hal itu tidak menjadi alasan untuk kemudian menggugurkan taklif syara’ (tanggung jawab syariat). Sebab ketika syariat diabaikan, maka saat itulah seseorang menyandang predikat Kafir Zindik. Na’udzubillahi
Minzdalik (kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian).
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32). Berarti, kendati sudah mencapai maqam tauhidul af’al misalnya, lalu serta-merta boleh mengabaikan Syariat Islam, tentu saja tidak! Oleh karena itu, di samping meneguhkan diri dalam posisi tauhidul af’al, juga harus senantiasa berpegang kepada syariat Nabi besar Muhammad Saw.
Kendati dalam maqam tauhidul Af’al, seorang salik harus menyaksikan dengan pandangan hatinya, bahwa perbuatan baik dan jahat itu berasal dari Allah SWT. Maksudnya, agar terlepas dari bahaya syirik khafi maupun lainnya yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Allah SWT.
Sebab, jika masih menganggap setiap perbuatan yang dilakukan itu sebagai perbuatan sendiri, maka berarti belum terbebas dari syirik khafi maupun syirik jali, yang keduanya merupakan penghalang sampai kepada-Nya.
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (Yusuf: 106).
Ayat ini menggambarkan bahwa kebanyakan manusia itu tidak beriman kepada Allah, bahkan banyak yang menyekutukan-Nya dengan sebab memandang wujud selain Allah. Hal ini terjadi, karena menganggap perbuatan yang keluar dari makhluk dikembalikan kepada makhluk, seharusnya: “INNAA LILLAAHI WAINNAA ILAIHI RAJI’UUN” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali).
Berkaitan dengan surat Yusuf ayat 106 di atas. Sayyid Umar Ibn Al Farid ra. menyatakan: “Andaikata terlintas di dalam hatiku suatu kehendak selain kehendak-Mu, jika diriku lupa sekalipun maka kuhukumkan diriku Murtad.”
Di kalangan arifin billah, banyak yang mempunyai komitmen seperti beliau. Dengan nada radikal memvonis dirinya Murtad, hanya karena lupa sejenak kepada Allah. Bagi para salikin, sebaiknya jangan ikut-ikutan seperti mereka yang telah sampai kepada-Nya. Cukup menata diri jadi orang Mukmin yang sejati. Kemudian senantiasa belajar memandang bahwa tidak ada yang berbuat dan tidak ada yang hidup dalam wujud alam ini, kecuali Allah SWT.
Surga Ma’rifah
Dengan menjadi seorang Mukmin yang sejati, bahkan menyandang predikat ahli tauhid. Maka balasan surga menjadi pantas dilimpahkan kepadanya. “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya memperoleh dua Surga.” (Ar Rahman: 46).
Seorang Mukmin sejati akan memperoleh dua kenikmatan surga:
Surga ma’rifah kepada Allah di dunia ini. Surga ini dapat digambarkan dengan kesenangan seorang hamba yang benar-benar telah mengenal Tuhannya.
Surga akhirat, surga yang umumnya telah dipahami oleh kebanyakan orang-orang yang beriman, sebagaimana digambarkan dalam Alquran maupun Alhadits.
Syekh Abdullah Ibn Hijazi Asy Syarqawi Al Misri ra. berkata: “Barang siapa yang masuk ke dalam surga ma’rifah di dunia ini, niscaya ia tidak merindukan surga akhirat dengan nisbah bidadari-bidadari yang molek dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya. Kerinduannya terhadap surga akhirat itu, tidak lain ingin berjumpa dengan Allah.”
Perbedaan sikap di dalam memandang surga, antara arifin billah dengan orang awam disebabkan: arifin billah itu sebagai pelaku dalam surga ma’rifah, berbeda dengan orang awam yang hanya bisa mendambakan kenikmatan surga akhirat.
Perbandingannya, kebahagiaan atau kenikmatan yang diberikan Allah pada kalangan awam kelak di akhirat, baru sebagian dari kebahagiaan yang dilimpahkan kepada para arifin billah. Sebab, di kalangan arifin billah itu lebih mengutamakan Allah ketika di dunia, dibandingkan dengan orang awam.
Karena itu, hendaklah seorang salik selalu ingat wihdatul af’al, karena ingatan itu yang akan mengantarkan ke wilayah yang sangat indah, yakni ke-Elok-an Dzat Wajibul Wujud.
(Kitab Addurun Nafis, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari)

catatan kecil Soal diri

LAA MAUJUD ILLALLAH "Tiada yang wujud kecuali Allah" LAA MAQSUD ILLALLAH "Tiada tujuan kecuali hanya ...