Kamis, 25 Januari 2018

Dzikir Allah Pada Dirinya



Secara hakikat, tak ada dzikir “Allah”, kecuali hanya “Allah” dan tak ada yang mengenalNya selain Dia. Tak ada yang berhak ditunggalkan kecuali hanya bagiNya.Sedangkan DzikirNya pada DiriNya Sendiri adalah firmanNya : “Sungguh Dzikirnya Allah adalah (dzikir) Terbesar”.
Dzikirnya Allah Yang Maha Agung nan Luhur pada DiriNya adalah Dzikir paling besar dan paling agung, paling sempurna, dibanding dzikirnya makhluk kepadaNya.
Adapun Ma’rifatNya terhadap DiriNya adalah firmanNya :
“Dan mereka tidak mampu mengukur Allah sebagaimana mestiNya.”  Allah Ta’ala-lah Yang Maha Mengenal keparipurnaan DzatNya dan keagungan SifatNya.
Selain Dia, tidak mampu, apalagi hanya sebgain makhlukNya.  Bagaimana seseorang bisa mengenal salah satu sifat dari Sifat-sifatNya?
Sedangkan TauhidNya pada DiriNya, adalah firmanNya :
“Allah menyaksikan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia.”
Maka, Dialah Yang Maha Mengetahui dengan TauhidNya secara hakiki dan paripurna. Sedangkan tauhidnya makhluk, hanya terjadi setelah TauhidNya pada DiriNya Sendiri, lalu kemudian melimpahkan dari Cahaya TauhidNya sedikit saja pada para MalaikatNya yang yang diberi pengetahuan menurut kadar masing-masing.
Apa yang sudah dibagikan kepada makhluk adalah bagian menurut ilmuNya yang sudah ada sejak di zaman azali. Maka WujudNya dikenal melalui Cahaya tauhidNya, bukan dengan Dzat diri tauhidNya. Setiap orang yang mengenalNya senantiasa tidak mampu mengenalNya, sedangkan ma’rifat itu ada di dalam tauhid.

Karena ma’rifat itu sifatnya langsung, yaitu pangkal ma’rifat. Ibaratnya, ma’rifat langsung itu seperti  lampu di dalam matahari  dan menyebarnya cahaya pada matahari itu.  Karenanya disebut sebagai tauhid paling sempurna adalah penancapan tauhid dalam akal.
Kekuatan akal menjadi faktor  argumentasi dan penetapan bukti dalam hati, yang lebih berhak mandiri dalam rasa yaqin, serta paling jelas menampakkan dalam argumen dan diskripsi yang berpadu dalam hati.
Tak satu pun orang yang menemukan dengan bukti dari bukti-bukti langsung dirinya, dan mewujudkan hakikat dengan benar serta kritik yang benar dibanding penemuan akalnya yang tanpa mengekor maupun tanpa skeptis. Sehingga tidak ada lagi sangkaan dan keraguan.
Sebab bertaklid dalam tauhid itu akan jauh dari anugerah, tidak berguna dan tidak bermanfaat. Sebab, taklid itu sendiri merupakan pengekoran jejak orang lain tanpa mengenal bukti, kenyataan dan dalil. Tak ada yang rela pada taklid kecuali orang yang pemahannya bodoh, keras wataknya, bebal pikirannya, bodoh dan hina, terjauhkan dan terhijab, terdampar dan terabaikan dalam kerusakan. Semoga Allah swt melindungi kita dan kalian dari tirai sifat seperti itu, dan menjadikan kita sebagai ahli pengetahuan, pemahaman dan hakikat serta ma’rifat bersama anugerahNya.
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudry ra dari Nabi saw,  beliau bersabda :
“Qalbu itu ada empat : Qalbu putih susu yang didalamnya ada lampu yang memancarkan cahaya, itulah qalbu orang beriman. Dan qalbu hitam terbalik, itulah qalbu orang kafir. Dan Qalbu yang tertutup yang terikat pada tutupnya, itulah qalbu orang munafiq. Dan Qalbu yang bermuka dua, di dalamnya ada iman dan kemunafikan. Iman di sini ibarat tumbuhan sayur yang mengalirkan air yang bagus. Sedangkan munafik di sini ibarat luka bernanah yang menimbulkan kuman. Dari dua materi itu, manakah yang lebih menang, maka hukumnya diberlakukan (apakah ia mukmin atau munafik, pent).”
Sayyidina Ali -Semoga Allah memuliakan wajahnya- ra,  Qalbu putih susu adalah karena proses pemutihannya yang dilakukan melalui zuhud di dunia dan menyingkirkan hawa nafsunya. Sedangkan lampu yang memancarkan cahayanya adalah cahaya yaqin dimana rasa yaqin tampak jelas.
Sebagian sufi menegaskan Qalbu putih susu adalah pembersihan qalbu melalui tauhid dari segala bentuk keraguan, kebimbangan dan taqlid, dan pengasingannya dari segala hal selain Allah swt.
Adapun qalbu yang terbalik adalah qalbu yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya (dan Allah membiarkan sesat menurut IlmuNya), lalu Allah membalikkannya sehingga pandangan langsungnnya terhadap ilmu tauhid terbalik, dengan memandang kegelapan pemikiran dan kemusyrikan. Inilah yang dikatakan sebagaian ‘arifin, “Kegelapan paling gulita adalah kegelapan ilmu dan kebodohan terbodoh adalah kebodohan taqlid.”
Qalbu yang tertutup adalah qalbu yang tertirai melalui kegelapan gulita kebodohan taqlid, jauh dari memandang matahari Nubuwwah dan Tauhid.
Allah swt berfirman :
“Mereka berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganuti dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan mengikuti jejak mereka.”
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup meweah di negeri itu mengatakan, “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikut jejak mereka.” (Alz-Zukhruf: 23-24)
“Dan bila ditanya pada mereka, “Ikutilah apa yang yang telah diturunkan Allah…” Mereka menjawab, “(Tidak), namun kami mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami.”
Qalbu yang bermuka dua adalah qalbu yang penuh keraguan, mondar-mandir antara hawa nafsu dan cermin pengetahuannya, dengan alibi rasa aman dan aktifitasnya. Riya’ sendiri adalah syirik, dan syirik itu menghapus amal. Riya’ terbesar adalah orang yang memamerkan iman.
Allah swt. Berfirman :
“Diantara manusia ada orang yang cukup membuatmu kagum ucapannya dalam hal kehidupan dunia dan dipersaksikan kepada Allah atas apa yang ada di hatinya, padahal ia adalah penantang paling keras.” (Al-Baqarah: 204)
“Dan mereka tidak melakukan sholat melainkan mereka itu pemalas.”
“Maka celakalah bagi orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai sholatnya. Yaitu mereka yang berbuat riya’ dan mencegah membayar zakat (menolong orang-orang miskin).” (Al-Maa’un: 4-7)
Jika disimpulkan , di manapun posisi qalbu senantiasa berfungsi sebagai penegas, bukan perusak.
Dikatakan, bahwa Qalbu dalam  kekuatan cahaya dan tauhidnya serta pancaran sinarnya, ibarat cahaya lampu, dalam lampu, itu qalbu.
Airnya adalah akalnya qalbu. Sedangkan minyaknya merupakan tempat bagi pengetahuan qalbu yang merupakan ruhnya lampu atau pelita. Dengan ilmu yang banyak maka tumbuhlah ruh al-yaqin, yang dikukuhkan dengan ruh dari yaqin itu sendiri.
Sedangkan sumbu lampu sebagai tempatnya iman, yang merupakan asal dan penegak iman yang melimpah darinya. Maka dengan kadar beningnya kaca lampu yang merupakan qalbu yang bersih, muncullah warna air yang merupakan akal penguat. Dan menurut kadar beningnya minyak, jernih dan meresapnya yang melebar -yang merupakan ilmu- maka memancarlah cahaya an-Nuur yang merupakan tempatnya iman dalam potensinya ketika zuhud, takut dan pengghormatan kharismaNya.
Sedangkan dengan cahaya api yang menerangi nafsu, ibarat ilmu dalam materi ketaqwaan, wara’ dan ma’rifat, serta hilangnya hawa nafsu serta syahwat.
Maka, ilmu menjadi tempat bagi tauhid, sehingga orang yang bertauhid mandiri dalam tauhidnya menurut kadar tempatnya.
Tawakal sebagai aktifitas qalbu, tauhid adalah ucapan qalbu, dan majlis tertinggi, paling mulia adalah duduk disertai tafakkur di medan tauhid.
Sepanjang qalbu meluas bersama ilmu, ia akan zuhud di dunia, lantas hawa nafsu, ambisi, imajinnasi dan angan-angan jadi sirna. Imannya semakin tambah dan tahiudnya jadi sempurna.
Dikatakan pula, Qalbu itu seperti istana, dan dada seperti kursinya. Makanaka dada meluas dengan pengetahuan iman, melebar dengan cahaya yaqin, jadilah kursi, yang meluas ilmunya secara dzohir di alam nyata, dan secara batin di alam malakut di dalam dirinya dan lainnya. Maka jadilah aliran yang melimopah dalam kema’rifatannya, berjalan penuh dengan kontemplasi nan beradab dengan akhlaq paling luhur dalam Sifat-sifatNya. Sebagaimana riwayat dari Allah swt yang berfirman (dalam hadits Qudsy) :
“HambaKu senantiasa  bertaqarrub kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah Pendengarannya yang dijadikannya mendengar.”
Bila qalbu telah penuh dengan tauhid, maka qalbu jadi istana (Arasy), dengan sendirinya bersih dari sifat-sifat manusiawi, yang duimuliakan dengan Sifat-sifatNya yang Luhur di tempat yang Tinggi, sedangkan ma’rifatnya membubung di tempat paling rendah.
Pandangannya jadi sempurna dengan cahaya Ismu Dzat (Allah), kedudukannya menjadi agung se agung Aras disbanding makhluk-makhlukNya. Ia berkahlaq dengan Akhlaq Allah swt. Asamul Husna jadi sifat dan karakternya. Jadilah ia lebur dalam hakikat fana dalam musyahadahnya kepada Yang Didzikiri, bahkan fana dari dzikirnya sendiri, lalu ia dikembalikan kepada makhluk dengan membawa rahmatNya. Mengajak kepada makhluk menuju Allah Ta’ala  bersama Allah swt. Sebagaimana dalam hadits Qudsy :
“ArasyKu dan KursiKu dan Langit-langitKu tidak ada yang memuatKu. Dan hanya hati hambaKu yang memuatKu.”
Makna dari memuat di situ adalah manifestasi tauhid dan iman, ilmu dan ma’rifat, yaqin, cinta dan keikhlasan, sebagai anugerah dan keistemewaan dari Allah swt. Bukan yang dimaksud “memuat” itu adalah sesuatu yang terhampar dalam khayalan, penempaatan (hulul), indera dan hukum logika .

catatan kecil Soal diri

LAA MAUJUD ILLALLAH "Tiada yang wujud kecuali Allah" LAA MAQSUD ILLALLAH "Tiada tujuan kecuali hanya ...