Kamis, 25 Januari 2018

NISBAH PERBUATAN


Dalam sejarah perjuangan Rasulullah Saw. di Makah khususnya, beliau tidak pernah mendoakan kaum quraisy dan orang-orang yang menyakitinya, melainkan: “Ya Allah ampunilah mereka, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.” Ini doa beliau untuk mereka.
Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang Rasul Rahmatan Lil’alamin, tercermin pada sifat-sifat beliau yang penuh dengan cinta kasih terhadap umatnya. Buktinya, beliau tidak pernah berdoa untuk kehancuran orang-orang Kafir Quraisy yang sepanjang hidupnya mengganggu dan menyakiti. Ini disebabkan, beliau selalu memandang dan menisbahkan semua perbuatan pada kehendak Allah SWT. Keyakinan beliau, hanya Allah yang menjadi sumber setiap perbuatan yang tercipta di alam ini.
Sifat beliau ini dapat dijadikan cermin bagi orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran: 159)

Hidayah
Jika orang yang menuju kepada Allah memiliki kesadaran untuk
mengamalkan sebagaimana yang dicontohkan beliau, maka kesadaran tersebut harus dipahami sebagai hidayah dari Allah, yang harus dipelihara dan dikembalikan pula kepada-Nya. Hidayah adalah anugerah dan rahmat, sebagai wujud cinta kasih Allah kepada hamba-Nya.
Dengan hidayah tersebut, seseorang dapat mengatasi syirik yang meliputi perjalanan menuju kepada-Nya. Dengan hidayah itu pula, seseorang dapat membangun kesadaran di dalam memandang dan meyakini segala wujud majazi (metafora) itu fana. Yakni sesuatu yang tampak secara kasat mata maupun mata hati, sirna di bawah Nur Wujud Allah yang merupakan Wujud hakiki. Inilah yang dinamakan syuhud.
Syuhud adalah memahami segala perbuatan makhluk bersumber dari Allah SWT. Untuk mencapainya, harus melalui proses mengamalkan pemahaman tersebut, kendatipun pemahaman itu tumbuh secara bertahap sampai benar-benar yakin, Jika syuhud telah terpelihara di dalam hati, maka pada akhirnya akan merasakan pula lezatnya musyahadah.
Musyahadah itu penyaksian terhadap sesuatu dan dikembalikan kepada Allah. Penyaksian di sini, “melihat” secara jelas perbedaan antara lahir dan batin pada diri sesuatu, yang keduanya tidak bercampur dalam satu wujud, juga tidak berpisah dalam lain wujud. Jika telah mengalami musyahadah, maka proses selanjutnya mengantarkan seseorang pada maqam (tingkatan) Wihdatul Af’al.
Baik & Buruk
Pengertian Wihdatul Af’al ialah ke-Esa-an Allah dalam segala perbuatan. Pada maqam ini, terjadi fana atau peniadaan pada perbuatan makhluk, baik perbuatan sendiri maupun orang lain, bahkan semua perbuatan yang dilakukan oleh makhluk, seluruhnya fana di bawah Perbuatan Allah SWT.
Dengan pengertian, manakala perbuatan makhluk dihadapkan kepada Perbuatan Allah niscaya perbuatan makhluk itu menjadi lenyap tidak kelihatan, seperti lampu pijar 5 watt yang nyala disiang hari dan dihadapkan pada cahaya matahari. Begitu pula seluruh perbuatan yang terjadi di alam semesta, apakah perbuatan itu baik atau buruk, semuanya dilihat sebagai Perbuatan Allah SWT.
Fakta dalam kehidupan, sering terjadi benturan pemahaman dalam pengamalan tauhidul af’al, seperti menyikapi semua perbuatan baik maupun buruk harus dikembalikan kepada Allah.
Karena pada persoalan ini, masih banyak orang yang melihat perbuatan Allah itu hanya dari sisi pengagungan, artinya melihat Allah hanya dari persoalan yang baik-baik saja sesuai kacamata makhluk, seperti perbuatan baik yang meliputi makhluk dapat dengan mudah dinisbahkan kepada
Allah dan setiap orang bisa menerimanya secara aksiomatis.
Berbeda dengan perbuatan tercela, banyak orang tidak menerima jika perbuatan buruk yang keluar dari makhluk dinisbahkan kepada Allah. Padahal baik dan buruk itu hanya sebuah nama yang menjadi simbol hukum dalam menentukan sikap sebagai paradigma syariat.
Perlu dipertegas di sini, tauhid itu lepas dari ikatan hukum
lahiriah, meskipun tidak keluar dan lepas dari rangkaian tali-tali Syariat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Adapun yang menjadi dalil untuk mengatakan bahwa perbuatan tidak baik tersebut juga bersumber dari Allah SWT adalah sebagaimana hadis Nabi Saw. dalam doanya yang termaktub pada Kitab Addurun Nafis: “Ya Tuhanku. Sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.”
Doa ini, dapat ditafsirkan sebagai permintaan beliau dalam berlindung kepada Allah, dari segala bentuk kejahatan yang datangnya juga dari Allah. Seandainya kejahatan itu bukan dari Allah, tentu saja Nabi kita tidak akan berdoa dengan doa seperti itu.
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa segenap perbuatan, baik dan buruk pada dasarnya berasal dari Yang Satu yaitu Allah SWT, hal ini juga ditegaskan dalam Alquran “Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (An Nisaa’: 78).
Ayat ini bila ditafsirkan, mengandung pengertian yang sama dengan doa Nabi Saw. yakni Allah menyuruh: “Katakanlah Ya Muhammad. Bahwa semua kebajikan dan kejahatan itu datangnya dari Allah.”
Di antara arifin billah (orang yang telah mengenal Allah), ketika menggambarkan perbuatan baik dan buruk yang ada di alam semesta ini, membuat ilustrasi hubungan antara hamba dengan Tuhan, melalui perumpamaan wayang dengan dalang.
Hamba diumpamakan sebagai wayang sedangkan Tuhan diumpamakan sebagai dalangnya. Wayang bergerak ke sana ke mari dan menjalankan perannya sesuai dengan keinginan sang dalang. Demikian juga makhluk,perbuatannya selalu di bawah kendali Sang Khalik.
Perumpamaan ini hanya sekedar mendekatkan paham saja, bukan pada yang sebenarnya. Maha Suci Allah dari segala perumpamaan yang tidak layak bagi diri-Nya. Gambaran pemahaman tersebut, kendati di satu sisi sebagai upaya mengarahkan pemahaman yang tidak harus dimaknai secara hakiki.
Namun di sisi lain, adalah contoh pelajaran kepada para pejalan yang sedang menuju Allah, agar di dalam mempelajari ilmu tauhid dan hakikat tidak melanggar syariat Nabi Besar Kita Muhammad Saw. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33)
Sebab, jika memahami secara utuh tentang perumpamaan wayang dengan dalang, maka dapat diketahui pada hakikatnya wayang itu tidak punya perbuatan apapun, terlebih cerita dan perjalanan hidup, semua perbuatan dan cerita itu milik sang dalang yang membuat skenario mulai dari kata hingga cerita.
Wayang hanya sekedar benda mati yang dihidupkan oleh yang hidup (dalang), maka bagaimana wayang bisa mengakui punya sesuatu, tidak punya sesuatu saja, tidak punya. “LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL ‘ALIYYIL ‘AZHIIM” (Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).
Zindik & Murtad
Jika telah mengerti hakikat perumpamaan tersebut, maka seyogianya dalam kondisi apapun, wajib bagi para salik mengerjakan segala perintah dan menjauhi setiap larangan Allah dan Rasul-Nya dengan bimbingan seorang Mursyid.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59).
Karena, siapa pun orang yang sudah sampai pada maqam ruhaniah tertentu, dan seberapa pun tinggi maqam yang telah dicapainya, hal itu tidak menjadi alasan untuk kemudian menggugurkan taklif syara’ (tanggung jawab syariat). Sebab ketika syariat diabaikan, maka saat itulah seseorang menyandang predikat Kafir Zindik. Na’udzubillahi
Minzdalik (kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian).
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32). Berarti, kendati sudah mencapai maqam tauhidul af’al misalnya, lalu serta-merta boleh mengabaikan Syariat Islam, tentu saja tidak! Oleh karena itu, di samping meneguhkan diri dalam posisi tauhidul af’al, juga harus senantiasa berpegang kepada syariat Nabi besar Muhammad Saw.
Kendati dalam maqam tauhidul Af’al, seorang salik harus menyaksikan dengan pandangan hatinya, bahwa perbuatan baik dan jahat itu berasal dari Allah SWT. Maksudnya, agar terlepas dari bahaya syirik khafi maupun lainnya yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Allah SWT.
Sebab, jika masih menganggap setiap perbuatan yang dilakukan itu sebagai perbuatan sendiri, maka berarti belum terbebas dari syirik khafi maupun syirik jali, yang keduanya merupakan penghalang sampai kepada-Nya.
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (Yusuf: 106).
Ayat ini menggambarkan bahwa kebanyakan manusia itu tidak beriman kepada Allah, bahkan banyak yang menyekutukan-Nya dengan sebab memandang wujud selain Allah. Hal ini terjadi, karena menganggap perbuatan yang keluar dari makhluk dikembalikan kepada makhluk, seharusnya: “INNAA LILLAAHI WAINNAA ILAIHI RAJI’UUN” (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali).
Berkaitan dengan surat Yusuf ayat 106 di atas. Sayyid Umar Ibn Al Farid ra. menyatakan: “Andaikata terlintas di dalam hatiku suatu kehendak selain kehendak-Mu, jika diriku lupa sekalipun maka kuhukumkan diriku Murtad.”
Di kalangan arifin billah, banyak yang mempunyai komitmen seperti beliau. Dengan nada radikal memvonis dirinya Murtad, hanya karena lupa sejenak kepada Allah. Bagi para salikin, sebaiknya jangan ikut-ikutan seperti mereka yang telah sampai kepada-Nya. Cukup menata diri jadi orang Mukmin yang sejati. Kemudian senantiasa belajar memandang bahwa tidak ada yang berbuat dan tidak ada yang hidup dalam wujud alam ini, kecuali Allah SWT.
Surga Ma’rifah
Dengan menjadi seorang Mukmin yang sejati, bahkan menyandang predikat ahli tauhid. Maka balasan surga menjadi pantas dilimpahkan kepadanya. “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya memperoleh dua Surga.” (Ar Rahman: 46).
Seorang Mukmin sejati akan memperoleh dua kenikmatan surga:
Surga ma’rifah kepada Allah di dunia ini. Surga ini dapat digambarkan dengan kesenangan seorang hamba yang benar-benar telah mengenal Tuhannya.
Surga akhirat, surga yang umumnya telah dipahami oleh kebanyakan orang-orang yang beriman, sebagaimana digambarkan dalam Alquran maupun Alhadits.
Syekh Abdullah Ibn Hijazi Asy Syarqawi Al Misri ra. berkata: “Barang siapa yang masuk ke dalam surga ma’rifah di dunia ini, niscaya ia tidak merindukan surga akhirat dengan nisbah bidadari-bidadari yang molek dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya. Kerinduannya terhadap surga akhirat itu, tidak lain ingin berjumpa dengan Allah.”
Perbedaan sikap di dalam memandang surga, antara arifin billah dengan orang awam disebabkan: arifin billah itu sebagai pelaku dalam surga ma’rifah, berbeda dengan orang awam yang hanya bisa mendambakan kenikmatan surga akhirat.
Perbandingannya, kebahagiaan atau kenikmatan yang diberikan Allah pada kalangan awam kelak di akhirat, baru sebagian dari kebahagiaan yang dilimpahkan kepada para arifin billah. Sebab, di kalangan arifin billah itu lebih mengutamakan Allah ketika di dunia, dibandingkan dengan orang awam.
Karena itu, hendaklah seorang salik selalu ingat wihdatul af’al, karena ingatan itu yang akan mengantarkan ke wilayah yang sangat indah, yakni ke-Elok-an Dzat Wajibul Wujud.
(Kitab Addurun Nafis, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari)

MEMBUKA TIRAI HIJAB (Sandaran Hati)

Terbukanya hijab (sekat pembatas) antara kita dengan Allah adalah sumber ketenangan dan kebahagiaan hidup. Ketika hijab telah terbuka, semua yang kita alami hanyalah nikmat belaka. Betapa tidak, dalam setiap kondisi, kita akan merasakan kehadiran Allah Azza wa Jalla. Lebih jauh lagi, kita akan “melihat” Allah dalam setiap kejadian. Inilah keindahan tak bertepi.
Pantas bila Rasulullah SAW mengungkapkan keheranannya terhadap orang-orang Mukmin, orang yang telah terbuka hijabnya. Sebab semua yang dialaminya selalu berbuah kebaikan. Diberi kenikmatan ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Demikian pula ketika ia diberi ujian, ia bersabar, dan sabar adalah kebaikan baginya. Dengan sabar ia pun bisa lebih dekat lagi dengan Allah.
Orang yang telah makrifat dan terbuka hijabnya, hatinya dipenuhi keyakinan bahwa Allah akan selalu menolong. Lihatlah bagaimana ketika Da’tsur menodongkan pedang ke leher Rasulullah SAW. Wahai Muhammad, siapakah yang akan menolongmu sekarang? Dengan sangat yakin beliau menjawab, Allah! Seketika itu pula Da’tsur bergetar. Pedangnya langsung terjatuh. Rasulullah, dengan izin Allah, mampu melakukan hal tersebut, karena beliau tidak ada lagi hijab dengan Allah. Keyakinannya mendatangkan pertolongan Allah. Kata-katanya powerfull dan sangat berbobot.
Ciri khas orang yang telah makrifat adalah lebih fokus pada dalang dari pada wayang. Hatinya akan lebih tertambat pada Allah dari pada kepada makhluk. Boleh jadi penglihatannya sama dengan orang lain. Namun ada nilai plus dari penglihatannya tersebut. Melihat uang misalnya. Orang yang hatinya terhijab dari Allah, melihat uang hanya dari bendanya saja, bahkan bagaimana dengan uang tersebut syahwatnya terpuaskan. Tidak demikian dengan orang yang ma’rifat, hadirnya uang identik dengan hadir syukur. Hadirnya uang identik dengan keinginan menggebu untuk semakin dekat dengan Allah. Tak heran, dengan ma’rifat, puncak-puncak kemuliaan akhlak akan menjadi bagian dari diri.
Orang-orang makrifat itu jumlahnya sangat sedikit. Mereka bisa datang dari kalangan mana saja, tidak harus dari kalangan ulama. Bisa seorang tukang sapu, pegawai rendahan, pedagang, pejabat, dsb. Cirinya sangat kentara, mereka sangat Allah oriented. Akibatnya, hidup mereka sangat terjaga. Dipuji dicaci, punya uang tidak punya uang sama saja bagi mereka. Ia tidak mempersoalkan kaya atau miskin, cantik atau tidak, sebab ia yakin bahwa semua ada dalam kekuasaan Allah. Semua mengandung kebaikan yang akan mendekatkannya kepada Allah. Alangkah indahnya bila kita termasuk salah seorang dari mereka!
Bila terbukanya hijab menjadi sumber ketenangan dan kebahagiaan hidup, maka sebaliknya, tertutupnya hijab dan butanya hati dari mengenal Allah menjadi sumber kesengsaraan dan nestafa dalam hidup.
Saudaraku, kecemasan, kedongkolan, amarah, stres, depresi serta ketidaktenangan akan lahir bila kita lebih fokus pada makhluk dibanding kepada Allah Al Khalik. Ibnu Atha’ilah mengungkapkan, Sesungguhnya yang menyebabkan kerisauan hati dari segala sesuatu itu, disebabkan karena mereka masih terhijab (tidak melihat Allah dalam apa yang mereka lihat), tetapi andaikan mereka telah melihat Allah dalam tiap sesuatu, pastilah hatinya tidak lagi merasa risau.
Bagaimana agar kita bisa makrifat? Bagaimana kita bisa menyingkap hijab diri? Tiap orang memiliki hijab berbeda-beda. Ada yang terhijab karena harta. Cirinya ia sangat takut kehilangan harta, hati dan pikirannya hanya disibukkan harta. Latihan menyingkapnya adalah dengan banyak memberi, usahakan memberi apa yang disenangi.
Ada pula yang terhijab oleh kedudukan. Cirinya bangga terhadap kedudukan yang disandang dan sangat takut kehilangan. Maka cara membukanya adalah menanamkan keyakinan bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Imam Al Ghazali mencontohkan. Saat sedang berada di puncak karier, tidak segan-segan ia mengambil sampah, membawakan barang-barang di pasar, dan sebagainya. Sesuatu yang dianggap orang pekerjaan hina.
Ada pula yang hijabnya kecintaan yang berlebihan terhadap pasangan hidup, anak, keluarga, ilmu, atau pun lawan jenis yang belum halal. Bahkan ada pula yang hijabnya berlapis-lapis. Bila demikian, maka usaha untuk membuka hijabnya harus luar biasa beratnya. Intinya, hijab dunia latihannya dengan zuhud, ibadah dan doa. Berlatihlah untuk banyak mengingat Allah, di mana pun dan kapan pun. Pahami keutamaannya. Melihat apa pun kaitkanlah selalu dengan Allah, jangan hanya kepada makhluk. Wallaahu a’lam

BERSYUKUR




Hamba yang makin tinggi dan sempurna ketaatannya kepada Allah, akan makin banyak pula syukurnya kepada-Nya. Menempatkan kenikmatan yang ia terima dari Allah SWT. Di tempat yang mulia. Karena nikmat itu adalah anugrah yang patut di junjung tinggi. Caranya dengan berfsyukur kepada Allah atas semua kenikmatan yang sudah diterimanya. Harta anugrah itu dipergunakan untuk kepentingan ibadah dana amal yang sesuai dengan aturan dan perintah Allah, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan dan kerusakan dirinya dan masyarakat.
Syukur nikmat itu kwajibannya tetap. Artinya bagi hamba Allah yang beriman, ia selalu terus menerus berterima kasih kepada Allah, karena sangat banyak pemberian Allah Ta’la yang telah diterimanya. Dengan bersyukur atas nikmat Allah sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh-Nya, maka Dia pun akan menambah nikmah-Nya kepada manusia, sesuai dengan firman Allah:
Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah rezekimu…(Qs Ibrahim ayat 7)
Tambahan dari Allah itu, tidak lain adalah dengan syukur nikmat dan melaksanakan ketaatan dengan suka berbuat baik dan beradab mulia.
Bersyukur kepada Allah itu ada tiga cara, yaitu bersyukur dengan lisan, dan bersyukur dalam sikap perilaku (perbuatan) dan bersyukur di dalam hati
1. Bersyukur dengan lisan
Adapun syukur dengan lisan yaitu dengan memperbanyak puji syukur kepada Allah, sambil membaca Alhamdulillah, sesuai dengan firman Allah :
Adapun nikmat Allah hendaklah kalian sebut-sebut dengan mengucapkan syukur, Alhamdulillah…(Ad-dhuha ayat 11)
khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata
mengingat-ingat nikmat Allah yang telah engkau terima, maka itu pun termasuk mengucapkan syukur, sedangkan syukur dengan lisan, maka ia telah mengucapkan pujian terhadap Allah”
Dalam suatu hadist yang berasal dari sahabat Nu’man bin Basyir, Nabi Muhammad SAW. Bersabda
Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada pemberian yang sedikit, maka sudah tentu ia pun tidak akan bersyukur pada pemberian yang banyak. Siapa yang tidak pernah berterima kasih kepada manusia, ia pun tidak pernah bersyukur kepada Allah”
2. Bersyukur dalam dalam sikap prilaku (Perbuatan)
Adapun bersyukur dalam bentuk sikap tingkah laku dan perbuatan adalah dengan dengan melaksanakan amal ibadah dengan anggota badan. Dengan amal saleh dengan prilaku mulia dan budi bahasa yang terhormat. Pemberian dan nikmat Allah itu syukuri dalam tindakan perbuatan nyata. Seperti firman Allah :
Beramallah, hai keluarga Nabi Daud, sebagai tanda syukur kepada Allah…(Saba’ ayat 13)
3. Bersyukur di dalam hati
Bersyukur di dalam hati ialah memantapkan dalam hati bahwa semua nikmat itu adalah dari Allah walaupun baik ataupun buruk. Seperti firman Allah :
Apa saja yang engkau terima, itu semua dari Allah jua… (An Nahl ayat 53)
Bersyukur secara batin paling rendah adalah sabar dan paling tinggi adalah ilmu, bersykur kepada Allah tidak cukup dengan ucapan lisan belaka akan tetapi bersyukur dengan mengikut sertakan seluruh anggota badan dengan merasakan dengan kenikmatan syukur dalam kehidupan ajsmani dan rohani. Firman Allah :
Hendaklah menjadi hamba-hamba yang bersyukur…(Al Isra ayat 3)
SUdahkah kita bersyukur disaat terbangun dan saat sholat lima waktu…?

SEBAB-SEBAB HATI TERHIJAB


JASAD batin atau ruh yang selalu kita artikan sebagai hati, mempunyai kemampuan memandang dan mengenal sesuatu, merasakan kesenangan dan kesusahan, mengetahui yang lahir maupun yang batin khususnya mengetahui keberadaan Allah SWT.
Itulah kelebihan manusia daripada makhluk lain yaitu mempunyai hati yang dapat mengenal Allah dengan sebenar-benarnya sehingga menjadi hamba Allah yang benar-benar takut pada Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah : Terjemahannya : Apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka.(Al Anfaal : 2)
Hati yang terang-benderang seperti itu dimiliki oleh para ‘ariffin, muqarrobin dan solehin. Hati mereka dapat melihat dan betul-betul mengenal sifat-sifat keagungan Allah. Karena itu mereka benar-benar dapat menghambakan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya ada juga manusia yang hatinya gelap (buta) tidak dapat melihat dan mengenal Allah. Hal itu juga difirmankan oleh Allah SWT : Terjemahannya : Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama seperti orang yang buta (mengetahui)? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.(Ar Ra’d : 19)
Firman Allah lagi :Terjemahannya : Mereka itulah orang-orang yang hatinya, pendengarannya dan penglihatannya telah dikunci oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai.(An Nahl : 108)
Dari Umar Al Khattab, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :”Cap penutup hati tergantung di kaki arasy. Bila seseorang melanggar larangan Allah (menghalalkan yang diharamkan oleh Allah) maka Allah akan menutup hati mereka dengan cap penutup hati tersebut.”
Bila hati sudah buta, atau sudah dikunci mati oleh Allah SWT, maka hati tidak dapat lagi mengenal Allah. Begitulah hati orang-orang kafir dan munafik yang menyebabkan mereka menolak kebenaran.
Namun bukan hanya hati orang kafir dan munafik saja yang sudah buta, kita sebagai umat Islam pun masih banyak yang hatinya buta. Buktinya adalah kita masih sering membuat dosa (kecil atau besar). Orang yang masih membuat dosa adalah orang yang tidak takut pada Allah. Orang yang tidak takut pada Allah adalah orang yang tidak kenal siapa Allah. Jika tidak kenal Allah menandakan bahwa hati telah buta.
Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Sesungguhnya seorang mukmin apabila ia melakukan dosa maka terjadilah satu bintik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat dan berusaha membuangnya (bintik hitam tersebut) maka akan selamatlah hatinya. Kalau dosanya bertambah maka hatinya akan semakin terkunci.
Sabda baginda lagi yang maksudnya :Orang yang membuat satu dosa hilanglah sebagian akalnya untuk tidak kembali lagi selama-lamanya.
Kalau mata kita buta, maka kita tidak dapat melihat, tidak dapat mengenal bahkan tidak dapat berjalan lagi. Begitulah kalau hati kita buta, kita tidak dapat mengenal Allah dan tidak dapat menempuh jalan syariat lagi. Kita tidak takut, tidak redha, tidak tawakal, tidak yakin, tidak berharap kepada Allah, tidak cinta, tidak yakin dengan janji-Nya yaitu Syurga, Neraka, Hari Hisab, siksa kubur, dan lain-lain lagi. Bila perasaan tersebut sudah tidak ada di hati kita maka datanglah penyakit hati.
Firman Allah :Terjemahannya : Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al Baqarah : 10)
Mereka akan tersiksa di dunia dan di Akhirat. Di dunia mereka akan merasa kecewa, putus asa, berkeluh kesah, dan tidak tenang. Di akhirat tentulah lebih tersiksa lagi.
Penyakit hati yang Allah maksudkan itu diantaranya ialah iri dengki, dendam, buruk sangka, serakah, cinta dunia, bakhil, pemarah, penakut, riya’, ujub dan sombong.
Langkah pertama yang wajib ditempuh untuk mengobati penyakit hati kita ialah dengan mengobati hati yang buta itu. Bila hati sudah tidak buta maka penyakit-penyakit hati lainnya akan hilang dengan sendirinya.
Kalau mata kita sakit atau buta, maka kita akan pergi ke dokter mata. Mungkin mata kita akan dibersihkan, dibedah dan sebagainya. Begitupun kalau hati kita yang buta, maka kita mesti memberi pengobatan yang sesuai.
Untuk itu mari kita lihat dulu apakah yang menyebabkan hati terhijab? Di antaranya adalah:
a. Memakan makanan haram dan makanan syubhat, baik sadar atau tidak.
Bersabda Rasulullah SAW yang maksudnya:
“Hati itu dibina dengan apa yang dimakan.”
Hati kita adalah segumpal darah yang mengandung sel-sel darah merah dan zat-zat besi. Sel dan zat-zat itu berasal dari makanan yang kita makan. Kalau makanan kita bersih (halal mengikut syariat Islam) maka sel dan zat itu juga bersih sehingga hati kita juga akan bersih. Sebaliknya kalau makanan yang kita makan itu kotor (haram dan syubhat) baik benda itu haram atau uang yang digunakan untuk membelinya haram, maka sel dan zat-zat besi, atau zat-zat yang membina hati kita itu kotor, busuk dan gelap.
Hati seperti wadah yang terbuka. Hati yang kotor tidak akan menerima taufik dari Allah sebab Allah tidak akan memberi taufik dan hidayah kepada hati yang kotor. Sama halnya kita tidak akan memasukkan makanan ke dalam piring yang kotor. Apalagi taufik dan hidayah dari Allah itu sangat tinggi harganya.
Bila hati tidak bisa melihat kebenaran maka tidak akan terasa kebesaran, kehebatan, kasih sayang dan didikan dari Allah, tidak terasa anugerah, penjagaan, pengawasan dan pembelaan Allah. Kalau hati tidak mendapat hidayah dan taufik lagi maka kita akan menjadi orang yang sesat dan selalu terlibat melakukan maksiat dan mungkar.
Bersabda Rasulullah SAW :
Terjemahannya : Dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging. Bila baik daging itu baiklah seluruh anggota dan seluruh jasad. Bila jahat dan busuk daging itu jahatlah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.(Riwayat Al Bukhari & Muslim)
Firman Allah : Terjemahannya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman dengan-Nya. (Al Maidah : 88)
Perintah memakan makanan yang halal adalah wajib. Kalau kita makan makanan yang haram dalam keadaan sadar bahwa benda yang kita makan itu haram maka kita akan berdosa dan hati kita akan gelap. Tetapi kalau makanan yang haram dan syubhat itu kita makan, tanpa diketahui bahwa benda itu haram dan syubhat maka kita tidak berdosa tetapi hati kita yang dibina dari makanan itu tetap akan gelap.
Atas dasar itulah Sayidina Abu Bakar As Siddiq mengorek kembali makanan yang telah ditelannya hingga muntah-muntah, setelah dia mengetahui bahwa makanan itu sumbernya adalah syubhat. Amirul Mukminin itu merasa cukup takut bila makanan itu akan membutakan hatinya. Setelah mengorek makanan itu, dengan rasa bimbang bila saja ada sisa-sisa makanan tersebut yang masih ada dalam perutnya, maka beliau pun berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau bertindak kepadaku akan apa yang telah jadi darah dagingku”
Begitulah Sayidina Abu Bakar menjaga hatinya. Sebab itu hatinya menjadi terang-benderang. Jadi, tidak mengherankan kalau keyakinan beliau cukup kuat dengan Allah.
Rasulullah SAW pun memuji beliau dengan sabda baginda : Terjemahannya : Kalau dibandingkan iman Abu Bakar dengan iman seluruh manusia kecuali Nabi dan Rasul niscaya imannya masih lebih baik.
Hal yang serupa terjadi pada Imam Nawawi. Semasa hidupnya ia tidak makan buah-buahan di Damsyik karena merasa buah-buahan itu syubhat. Beliau sangat menjaga hatinya.
Hati yang terang-benderang akan mempunyai basirah (pandangan batin) yang tajam yang dapat menembus alam gaib dan alam kerohanian. Bila alam gaib yang hebat itu bisa terlihat oleh kita maka alam yang lahir itu sudah tidak berarti apa-apa.
Perbandingannya seperti ini : Misalnya suatu hari kita diundang menjadi tetamu raja. Maka masuklah kita ke istana. Di sana kita akan diberi dengan pelayanan yang istimewa, dengan pakaian dan makanan, peralatan dan perhiasan yang tidak pernah kita jumpai. Kita merasa sangat gembira dan kita merasa tidak mau kembali lagi ke rumah kita, sebab rumah kita sudah tidak berharga apa-apa lagi dibandingkan dengan kehidupan yang indah di istana.
Begitulah keadaan mereka yang bisa melihat kehebatan alam gaib. Alam yang lahir menjadi tidak berharga lagi. Karena itulah Sayidina Abu Bakar r.a bisa mengorbankan semua harta bendanya kepada jihad fisabilillah hingga tidak ada apa-apa lagi yang ditinggalkan untuk anak isterinya. Beliau mau menebus kehidupan di alam gaib yang maha hebat dengan menggadaikan seluruh harta benda dunia yang murah itu. Begitu juga sahabat-sahabat yang lain dan mujahid-mujahid Islam, mereka telah mengorbankan dunia yang sedikit itu untuk membeli kehidupan akhirat yang agung di alam baqa’ nanti.
Firman Allah : Terjemahannya : Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang mukmin, diri dan harta mereka dengan (harga) Syurga untuk mereka. (At Taubah : 111)
Mari kita mengobati hati kita dengan menghindar dari makanan yang haram. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengelak dari makanan yang haram diantaranya ialah :
  1.  
    1. Jangan memakan makanan yang zatnya jelas haram seperti arak atau makanan yang dicampur arak atau daging yang tidak disembelih.
    2. Jangan memakan makanan yang bernajis baik sifatnya najis (karena dibuat dari bahan yang tidak halal) atau karena cara mencucinya tidak betul atau tidak menurut syariat, sehingga tetap najis (tetap tidak halal).
    3. Jangan memakan daging yang disembelih secara tidak halal dan membersihkannya tidak menurut syariat.
    4. Jangan memakan makanan yang dibeli dengan uang yang haram (sekalipun makanan itu halal). Uang yang haram contohnya uang suap, uang riba, uang curian dan tipuan.
    5. Jangan kita memakan makanan dari usaha yang haram seperti riba, pelacuran, judi, dan lain-lain.
Makanan syubhat ialah makanan yang kita ragukan halal atau haram dan uang syubhat ialah uang yang sumbernya kita ragukan halal atau haram. Makanan dan uang yang syubhat itu wajib dielakkan supaya kita berpeluang memperoleh kejernihan batin untuk mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya.
Sekarang ini banyak makanan di restoran yang menyalahgunakan perkataan ‘HALAL’ dan ‘ISLAM’ sebagai tanda perniagaan mereka. Kita harus berhati-hati juga sebab musuh Islam telah menyalahgunakan kata-kata ‘HALAL’ dan ‘ISLAM’ itu untuk keuntungan perut dan kantong mereka saja. Mereka sama sekali tidak takut pada Allah dan tidak ingin untuk mencari keredhaan-Nya.
Makan makanan yang halal tetapi berlebihan juga menjadi satu faktor penentu kepada corak hati kita.
Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Wadah yang paling dibenci oleh Allah adalah perut yang penuh dengan makanan yang halal.
Allah benci kepada perut yang penuh dengan makanan sebab perut yang penuh itu akan melemahkan kegiatan hati sehingga tidak kuat untuk memandang pada alam gaib.
Bila hati lemah maka manusia menjadi lalai dan malas. Malas beribadah dan mudah terjebak dalam maksiat. Atas dasar itulah para salafussoleh mengurangi porsi makan mereka.
Rasulullah SAW selalu melatih perutnya untuk berada dalam keadaan lapar. Beliau pernah meletakkan batu di perut dan kemudian mengikat perutnya dengan kain agar tidak terasa kekosongan perut yang memang kosong. Beliau jarang berada dalam keadaan kenyang. Jika satu hari kenyang, maka tiga hari lapar. Beliau selalu berpuasa satu hari, kemudian satu hari lagi berbuka.
Begitu pula cara hidup yang ditempuh oleh Nabi Sulaiman a.s yang dikenal sebagai orang kaya-raya. Beliau selalu berpuasa dan hanya memakan roti kering dan air putih. Nabi Yusuf a.s pun ketika menjadi menteri di Mesir melakukan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Bila ditanya mengapa Beliau berbuat begitu, jawabnya, “Di hari aku lapar, aku dapat merasa bahwa aku adalah hamba yang memerlukan pertolongan Allah. Di hari aku kenyang maka aku dapat bersyukur pada Allah SWT yang memberikan rezeki.”
Begitulah cara hidup Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, orang-orang muqarrobin dan orang-orang soleh. Mereka berjuang melawan nafsu untuk membersihkan hati supaya merasa diri sebagai hamba Allah yang lemah dan hina dina. Cara hidup mereka itulah yang wajib kita contoh. Kita mesti senantiasa berperang dengan nafsu yang selalu mengajak kita lalai dari Allah.
Mari kita obati hati kita dengan cara mengurangi makan. Langkah-langkah praktis yang mesti diambil untuk mengurangi makan di antaranya ialah :
  1. Hidangan makanan kita janganlah lebih dari dua jenis lauk. Itulah amalan Sayidina Umar. Beliau tidak makan dengan lebih dari dua jenis lauk. Sebab bila jenis lauk sudah bermacam-macam nafsu kita bertambah besar untuk merasakan semua jenis lauk.
  2. Makanan itu sebaiknya sederhana, jangan terlalu enak. Sebab kalau terlalu enak, kita tidak mampu mengawal nafsu untuk makan berlebihan.
  3. Jangan menyimpan berbagai kelebihan makanan dalam rumah, sebab bila makanan tersedia maka kita senantiasa berfikir untuk makan. Sebaliknya kalau tidak ada simpanan makanan, nafsu tidak akan mengajak kita berfikir untuk makan.
  4. Coba memperbanyak puasa sunat seperti di hari Senin dan Kamis atau paling kurang tiga hari dalam sebulan.
Harus kita fahami bahwa langkah-langkah di atas adalah untuk membersihkan hati dan membuat hati kita merasa menjadi hamba Allah yang lemah dalam segala masalah kita.
b. Pandangan dan Pendengaran yang Haram
Kita telah sepakat bahwa : “Dari mata turun ke hati.” Artinya hasil dari pandangan (termasuk pendengaran) bukan sekedar terasa di mata dan telinga tetapi akan bersambung dan berkesan di hati. Kalau apa yang kita pandang dan dengar itu baik, maka hati kita akan menerima kebaikannya. Sebaliknya kalau yang kita pandang dan dengar itu maksiat dan mungkar (haram), maka hati kita akan berisi kejahatan dan kemungkaran itu.
Hati yang senantiasa menerima pandangan dan pendengaran yang mungkar akan menjadi hati yang gelap dan pekat, buta dari melihat keagungan Allah. Hati itu tidak lagi merasa takut pada Allah, bahkan cinta dan rindu pada Allah SWT akan hilang.
Saya rasa kita semua tentunya memiliki pengalaman pribadi terhadap hal itu. Kalau setiap hari hati kita terisi dengan zikrullah, bacaan Al Quran, puasa, shalat sunat, membaca kitab dan mendengar pengajian agama, hati kita akan lembut, terasa indah dalam beribadah kepada Allah, rindu kepada kebaikan, benci dan takut kepada dosa.
Tetapi kalau setiap hari hati kita isi dengan program TV, berkata-kata kosong, mengumpat dan mencaci, membaca majalah hiburan yang penuh maksiat, mendengar lagu-lagu pop, maka kita akan menjadi malas beribadah, memandang kecil tentang cara hidup sunnah, tidak ada rasa takut dengan Allah, tidak membesarkan Allah apalagi untuk rindu pada-Nya, tidak suka pada pemuka agama dan lupa pada Akhirat. Hati kita menjadi cinta kepada dunia dengan segala hiburannya. Hati selalu ingin lepas, bebas tanpa disekat oleh hukum Islam, malas berjuang dan berangan-angan, serta ingin hidup lebih lama lagi.
Itulah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tindakan lahir, pendengaran dan penglihatan yang haram akan membuat hati kita buta kepada kebenaran.
Allah berfirman : Terjemahannya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercantum (benih) yang akan Kami mengujinya (dengan perintah dan larangan) karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. (Al Insaan : 2)
Tujuan Allah memberi kita mata dan telinga adalah untuk mencari dan mengenal pencipta kita yaitu Allah SWT. Selain itu supaya kita sadar untuk berbakti dan menurut perintah-Nya. Firman-Nya : Terjemahannya : Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembah Aku. (Adz Dzaariyat : 56)
Kita mesti merasa bahwa diri kita adalah sebagai hamba dalam melaksanakan perintah suruhan dan larangan dari Allah. Yang penting adalah rasa kehambaan. Ibadah yang sebenarnya adalah yang berasal dari rasa kehambaan. Kalau waktu beribadah itu kita tidak merasa hina dan tidak merasa hamba, tetapi merasa besar diri, sombong, marah, dengki, maka amalan lahir itu bukan lagi dinilai ibadah. Sama halnya dengan seorang kuli yang menghadap tuannya dengan rasa besar diri, dengan bertolak pinggang. Bukankah lebih baik bila ia tidak menghadap, sebab tentu akan menimbulkan kemarahan tuannya.
Hidup bukan untuk dunia tetapi hidup untuk Allah dan untuk mencari bekal kembali ke Akhirat. Untuk tujuan itulah kita dikaruniakan Allah pendengaran dan penglihatan. Gunakanlah keduanya sebaik mungkin sebagai alat untuk sampai kepada tujuan yang diredhai-Nya.
Mari kita obati hati kita dengan menjaga pandangan dan pendengaran hanya kepada yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, merasa takut pada-Nya dan untuk berbakti pada-Nya.
Langkah-langkah yang sebaiknya diambil di antaranya ialah :
  1.  
    1. Banyakkan membaca Al Quran dan terjemahannya, hadist dan kitab-kitab serta buku-buku agama termasuk majalah dan risalah yang berunsur dakwah. Dalam waktu yang sama, elakkan dari membaca buku-buku khayalan, majalah hiburan dan berita-berita yang jauh dari kebenaran.
    2. Selalu mengunjungi mesjid, tempat pengajian agama, majelis dakwah, tahlil dan zikrullah serta mengelak dari tempat-tempat maksiat, acara-acara yang liar (pergaulan bebas) dan keluar rumah tanpa tujuan, sebab di luar banyak pandangan dan pendengaran yang membawa kepada maksiat. Juga kita mengelak dari bergaul dengan kawan yang mengajak kita kepada maksiat.
    3. Mendatangi orang-orang soleh, sebab dengan melihat mereka, dapat memberi Kekuatan.
    4. Ingat mati, karena selalu mengingat mati akan melembutkan hati.
    5. Elakkan dari menonton program TV yang tidak berfaedah. Sekali kita biarkan mata dan telinga kita memandang dan mendengar perkara yang dibenci oleh Allah, maka selama itu kita biarkan nafsu menjadi raja di hati kita sehingga kita lalai dan tidak takut kepada penglihatan dan pengawasan Allah. Lebih baik kita tidur daripada menonton TV sampai larut malam. Hasilnya kita bisa bangun dengan segar untuk menyembah Allah dan mendekatkan hati pada-Nya. Kalau hati kita merasa sama saja antara melihat maksiat atau tidak, itu tandanya hati kita sudah rusak dan jauh dari Allah.
Itulah di antaranya langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjernihkan batin kita. Perlu diingat bahwa langkah-langkah itu mesti diperjuangkan sungguh-sungguh dan terus menerus.
Kita jangan cepat jemu atau mudah terpengaruh dengan bujukan nafsu liar kita. Dan janganlah kita mengharap untuk memperoleh hasilnya dalam jangka waktu yang singkat. Sebab menurut pengalaman orang-orang yang telah menempuh jalan itu, waktu paling singkat untuk memperoleh hati yang bersih (taraf kerohanian yang tinggi) melalui mujahadah melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi) adalah 20 sampai 30 tahun lebih.
Waktu yang akan kita tempuh, sesuai dengan waktu yang kita gunakan untuk maksiat. Sejak dalam perut ibu, kita sudah menerima makanan yang tidak jelas halalnya. Setelah lahir pun kita berada di tengah-tengah maksiat dan macam-macam kemungkaran. Hati kita sudah gelap pekat dengan karat-karat dosa yang kita lakukan secara sadar atau tidak. Jadi memang sudah selayaknya kalau kita korbankan 20-30 tahun umur kita yang akan datang untuk membersihkan hati nurani kita. Mudah-mudahan di akhir umur kita, dapat kita rasakan kebersihan hati dan keselamatan dari mazmumah. Mudah-mudahan kita dapat menghadap Allah membawa hati yang selamat.
Firman Allah :
Terjemahannya : Di hari itu (hari kita meninggal dunia) tidak berguna lagi harta dan anak kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat. (Asy Syuara’: 88-89)
Apabila ruh kita sudah bersih dan sudah kembali pada fitrahnya semula (sewaktu di alam ruh), maka kita akan merasakan bermacam-macam pengalaman batin yang luar biasa. Tapi hal itu juga tergantung kepada taraf kebersihan ruh yang dapat kita capai. Ada dua peringkat ruh yang bersih yaitu :
1. Ruh yang terlalu bersih (orang yang Mukasyafah)
Biasanya dicapai oleh muqarrobin. Ruh itu dapat menembus hijab antara alam dunia dan malakut dan dapat melihat segala rahasia-rahasia batin manusia.
Hal-hal yang biasanya oleh orang biasa dilihat di alam mimpi maka mereka dapat melihatnya di waktu sadar. Contohnya : kalau ada seseorang yang sifat batinnya seperti anjing maka orang itu akan terlihat oleh mereka seperti anjing. Kalau orang biasa mendapat ilmu dengan belajar maka mereka memperoleh ilmu melalui ilham.
2. Ruh yang bersih
Tingkatan itu dapat dicapai oleh orang-orang soleh. Ruh mereka dapat mengesan rahasia-rahasia batin hanya melalui mimpi-mimpi yang benar dan rasa hati yang benar dan tepat dengan kehendak Allah. Mereka tidak dapat melihatnya secara nyata, sebab hijab pada diri mereka tidak terangkat semua. Allah menceritakan hal itu dalam hadist Qudsi, firman-Nya yang bermaksud : Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang setia pada-Ku) maka Aku mengisytiharkan perang terhadapnya. Dan tiada amal seorang hamba-Ku yang bertakwa (yang beramal) pada-Ku yang lebih Kucintai daripada dia menunaikan semua yang Kufardhukan ke atasnya. Dan hambaKu yang senantiasa bertaqarrub kepadaKu dengan nawafil (ibadah sukarela) sehingga Aku mencintainya, maka jadilah Aku seolah-olah sebagai pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan sebagai penglihatannya yang ia melihat dengannya
 dan sebagai tangannya yang ia bertindak dengannya dan sebagai kakinya yang ia berjalan dengannya.
Dan andaikata ia memohon pasti akan Kuberi padanya. Dan andaikata ia berlindung kepada-Ku pasti akan Kulindungi.
Rasulullah SAW bersabda : Terjemahannya : Takutilah olehmu firasat (pandangan tembus) orang-orang Mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah. (Riwayat At Tarmizi)

Dzikir Allah Pada Dirinya



Secara hakikat, tak ada dzikir “Allah”, kecuali hanya “Allah” dan tak ada yang mengenalNya selain Dia. Tak ada yang berhak ditunggalkan kecuali hanya bagiNya.Sedangkan DzikirNya pada DiriNya Sendiri adalah firmanNya : “Sungguh Dzikirnya Allah adalah (dzikir) Terbesar”.
Dzikirnya Allah Yang Maha Agung nan Luhur pada DiriNya adalah Dzikir paling besar dan paling agung, paling sempurna, dibanding dzikirnya makhluk kepadaNya.
Adapun Ma’rifatNya terhadap DiriNya adalah firmanNya :
“Dan mereka tidak mampu mengukur Allah sebagaimana mestiNya.”  Allah Ta’ala-lah Yang Maha Mengenal keparipurnaan DzatNya dan keagungan SifatNya.
Selain Dia, tidak mampu, apalagi hanya sebgain makhlukNya.  Bagaimana seseorang bisa mengenal salah satu sifat dari Sifat-sifatNya?
Sedangkan TauhidNya pada DiriNya, adalah firmanNya :
“Allah menyaksikan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia.”
Maka, Dialah Yang Maha Mengetahui dengan TauhidNya secara hakiki dan paripurna. Sedangkan tauhidnya makhluk, hanya terjadi setelah TauhidNya pada DiriNya Sendiri, lalu kemudian melimpahkan dari Cahaya TauhidNya sedikit saja pada para MalaikatNya yang yang diberi pengetahuan menurut kadar masing-masing.
Apa yang sudah dibagikan kepada makhluk adalah bagian menurut ilmuNya yang sudah ada sejak di zaman azali. Maka WujudNya dikenal melalui Cahaya tauhidNya, bukan dengan Dzat diri tauhidNya. Setiap orang yang mengenalNya senantiasa tidak mampu mengenalNya, sedangkan ma’rifat itu ada di dalam tauhid.

Karena ma’rifat itu sifatnya langsung, yaitu pangkal ma’rifat. Ibaratnya, ma’rifat langsung itu seperti  lampu di dalam matahari  dan menyebarnya cahaya pada matahari itu.  Karenanya disebut sebagai tauhid paling sempurna adalah penancapan tauhid dalam akal.
Kekuatan akal menjadi faktor  argumentasi dan penetapan bukti dalam hati, yang lebih berhak mandiri dalam rasa yaqin, serta paling jelas menampakkan dalam argumen dan diskripsi yang berpadu dalam hati.
Tak satu pun orang yang menemukan dengan bukti dari bukti-bukti langsung dirinya, dan mewujudkan hakikat dengan benar serta kritik yang benar dibanding penemuan akalnya yang tanpa mengekor maupun tanpa skeptis. Sehingga tidak ada lagi sangkaan dan keraguan.
Sebab bertaklid dalam tauhid itu akan jauh dari anugerah, tidak berguna dan tidak bermanfaat. Sebab, taklid itu sendiri merupakan pengekoran jejak orang lain tanpa mengenal bukti, kenyataan dan dalil. Tak ada yang rela pada taklid kecuali orang yang pemahannya bodoh, keras wataknya, bebal pikirannya, bodoh dan hina, terjauhkan dan terhijab, terdampar dan terabaikan dalam kerusakan. Semoga Allah swt melindungi kita dan kalian dari tirai sifat seperti itu, dan menjadikan kita sebagai ahli pengetahuan, pemahaman dan hakikat serta ma’rifat bersama anugerahNya.
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudry ra dari Nabi saw,  beliau bersabda :
“Qalbu itu ada empat : Qalbu putih susu yang didalamnya ada lampu yang memancarkan cahaya, itulah qalbu orang beriman. Dan qalbu hitam terbalik, itulah qalbu orang kafir. Dan Qalbu yang tertutup yang terikat pada tutupnya, itulah qalbu orang munafiq. Dan Qalbu yang bermuka dua, di dalamnya ada iman dan kemunafikan. Iman di sini ibarat tumbuhan sayur yang mengalirkan air yang bagus. Sedangkan munafik di sini ibarat luka bernanah yang menimbulkan kuman. Dari dua materi itu, manakah yang lebih menang, maka hukumnya diberlakukan (apakah ia mukmin atau munafik, pent).”
Sayyidina Ali -Semoga Allah memuliakan wajahnya- ra,  Qalbu putih susu adalah karena proses pemutihannya yang dilakukan melalui zuhud di dunia dan menyingkirkan hawa nafsunya. Sedangkan lampu yang memancarkan cahayanya adalah cahaya yaqin dimana rasa yaqin tampak jelas.
Sebagian sufi menegaskan Qalbu putih susu adalah pembersihan qalbu melalui tauhid dari segala bentuk keraguan, kebimbangan dan taqlid, dan pengasingannya dari segala hal selain Allah swt.
Adapun qalbu yang terbalik adalah qalbu yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya (dan Allah membiarkan sesat menurut IlmuNya), lalu Allah membalikkannya sehingga pandangan langsungnnya terhadap ilmu tauhid terbalik, dengan memandang kegelapan pemikiran dan kemusyrikan. Inilah yang dikatakan sebagaian ‘arifin, “Kegelapan paling gulita adalah kegelapan ilmu dan kebodohan terbodoh adalah kebodohan taqlid.”
Qalbu yang tertutup adalah qalbu yang tertirai melalui kegelapan gulita kebodohan taqlid, jauh dari memandang matahari Nubuwwah dan Tauhid.
Allah swt berfirman :
“Mereka berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganuti dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan mengikuti jejak mereka.”
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup meweah di negeri itu mengatakan, “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikut jejak mereka.” (Alz-Zukhruf: 23-24)
“Dan bila ditanya pada mereka, “Ikutilah apa yang yang telah diturunkan Allah…” Mereka menjawab, “(Tidak), namun kami mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami.”
Qalbu yang bermuka dua adalah qalbu yang penuh keraguan, mondar-mandir antara hawa nafsu dan cermin pengetahuannya, dengan alibi rasa aman dan aktifitasnya. Riya’ sendiri adalah syirik, dan syirik itu menghapus amal. Riya’ terbesar adalah orang yang memamerkan iman.
Allah swt. Berfirman :
“Diantara manusia ada orang yang cukup membuatmu kagum ucapannya dalam hal kehidupan dunia dan dipersaksikan kepada Allah atas apa yang ada di hatinya, padahal ia adalah penantang paling keras.” (Al-Baqarah: 204)
“Dan mereka tidak melakukan sholat melainkan mereka itu pemalas.”
“Maka celakalah bagi orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai sholatnya. Yaitu mereka yang berbuat riya’ dan mencegah membayar zakat (menolong orang-orang miskin).” (Al-Maa’un: 4-7)
Jika disimpulkan , di manapun posisi qalbu senantiasa berfungsi sebagai penegas, bukan perusak.
Dikatakan, bahwa Qalbu dalam  kekuatan cahaya dan tauhidnya serta pancaran sinarnya, ibarat cahaya lampu, dalam lampu, itu qalbu.
Airnya adalah akalnya qalbu. Sedangkan minyaknya merupakan tempat bagi pengetahuan qalbu yang merupakan ruhnya lampu atau pelita. Dengan ilmu yang banyak maka tumbuhlah ruh al-yaqin, yang dikukuhkan dengan ruh dari yaqin itu sendiri.
Sedangkan sumbu lampu sebagai tempatnya iman, yang merupakan asal dan penegak iman yang melimpah darinya. Maka dengan kadar beningnya kaca lampu yang merupakan qalbu yang bersih, muncullah warna air yang merupakan akal penguat. Dan menurut kadar beningnya minyak, jernih dan meresapnya yang melebar -yang merupakan ilmu- maka memancarlah cahaya an-Nuur yang merupakan tempatnya iman dalam potensinya ketika zuhud, takut dan pengghormatan kharismaNya.
Sedangkan dengan cahaya api yang menerangi nafsu, ibarat ilmu dalam materi ketaqwaan, wara’ dan ma’rifat, serta hilangnya hawa nafsu serta syahwat.
Maka, ilmu menjadi tempat bagi tauhid, sehingga orang yang bertauhid mandiri dalam tauhidnya menurut kadar tempatnya.
Tawakal sebagai aktifitas qalbu, tauhid adalah ucapan qalbu, dan majlis tertinggi, paling mulia adalah duduk disertai tafakkur di medan tauhid.
Sepanjang qalbu meluas bersama ilmu, ia akan zuhud di dunia, lantas hawa nafsu, ambisi, imajinnasi dan angan-angan jadi sirna. Imannya semakin tambah dan tahiudnya jadi sempurna.
Dikatakan pula, Qalbu itu seperti istana, dan dada seperti kursinya. Makanaka dada meluas dengan pengetahuan iman, melebar dengan cahaya yaqin, jadilah kursi, yang meluas ilmunya secara dzohir di alam nyata, dan secara batin di alam malakut di dalam dirinya dan lainnya. Maka jadilah aliran yang melimopah dalam kema’rifatannya, berjalan penuh dengan kontemplasi nan beradab dengan akhlaq paling luhur dalam Sifat-sifatNya. Sebagaimana riwayat dari Allah swt yang berfirman (dalam hadits Qudsy) :
“HambaKu senantiasa  bertaqarrub kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah Pendengarannya yang dijadikannya mendengar.”
Bila qalbu telah penuh dengan tauhid, maka qalbu jadi istana (Arasy), dengan sendirinya bersih dari sifat-sifat manusiawi, yang duimuliakan dengan Sifat-sifatNya yang Luhur di tempat yang Tinggi, sedangkan ma’rifatnya membubung di tempat paling rendah.
Pandangannya jadi sempurna dengan cahaya Ismu Dzat (Allah), kedudukannya menjadi agung se agung Aras disbanding makhluk-makhlukNya. Ia berkahlaq dengan Akhlaq Allah swt. Asamul Husna jadi sifat dan karakternya. Jadilah ia lebur dalam hakikat fana dalam musyahadahnya kepada Yang Didzikiri, bahkan fana dari dzikirnya sendiri, lalu ia dikembalikan kepada makhluk dengan membawa rahmatNya. Mengajak kepada makhluk menuju Allah Ta’ala  bersama Allah swt. Sebagaimana dalam hadits Qudsy :
“ArasyKu dan KursiKu dan Langit-langitKu tidak ada yang memuatKu. Dan hanya hati hambaKu yang memuatKu.”
Makna dari memuat di situ adalah manifestasi tauhid dan iman, ilmu dan ma’rifat, yaqin, cinta dan keikhlasan, sebagai anugerah dan keistemewaan dari Allah swt. Bukan yang dimaksud “memuat” itu adalah sesuatu yang terhampar dalam khayalan, penempaatan (hulul), indera dan hukum logika .

Siapakah Sahabat Sejati?



“Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang  menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”
Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya, namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya  yang menyadarkan kepentingan yang kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.
Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan fana yang tampak padanya.”
Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”
Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra,  “Apa kabarmu pagi ini wahai Haritsah?”
“Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits).
Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila  cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…”
Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…”

Ikhlas dan Jujur


Ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan kesempurnaan. Prinsip ikhlas adalah niat, sebab dalam niat itu
terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampuri kesempurnaan adalah kejujuran.

Pilar-Pilar Ikhlas
PILAR PERTAMA : Niat
Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (Q.s. Al-An’am: 52).
Arti niat adalah kehendak dan keinginan memperoleh ridha Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya seluruh pekerjaan itu bergantung niat.”
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya para malaikat melaporkan amal seorang hamba. Kemudian Allah Swt. berfirman, ‘Lemparkanlah! buanglah amal itu, sebab dia itu tidak meniatkannya demi memperoleh ridha-Ku, dan tulislah untuknya begini dan begitu!’ Para malaikat berkata, ‘Sungguh, ia sedikit pun tidak melakukan perbuatan demikian!’ Lalu Allah Swt. berfirman, ‘Sesungguhnya dia meniatkannya, sungguh, dia meniatkannya’.”
Sabda Rasulullah Saw. berikutnya:
“Manusia itu ada empat macam, (yaitu): Orang yang oleh Allah dikaruniai ilmu dan harta. Dia memanfaatkan hartanya dengan ilmu yang dimilikinya. Lalu ada orang lain berkata, ‘Andaikata Allah mengaruniai aku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, tentu aku akan beramal sebagaimana dia beramal!’ Kedua orang ini pahalanya sama. Dan ada orang yang oleh Allah dikaruniai harta, tapi tidak dikaruniai ilmu, maka dia akan tersesat dengan kebodohannya dalam menggunakan hartanya. Lalu ada orang berkata, ‘Andaikata Allah mengaruniaiku seperti yang dikaruniakan kepadanya, tentu aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat!’ Maka kedua orang ini dosanya sama.” (Al-Hadis).
Sabdanya yang lain, “Barangsiapa berperang dan tidak berniat, kecuali hanya satu ikat saja, maka baginya adalah pahala yang diniatkan.”
Dikisahkan bahwa seseorang dari bani Israil melintasi sebuah bukit pasir pada masa paceklik. Menyaksikan bukit dan gundukan pasir itu ia bergumam dalam dirinya, “Andaikata aku memiliki makanan sebanyak bukit pasir ini, tentu dan pasti aku bagi-bagikan kepada manusia.” Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi mereka (bani Israil) di masa itu: “Katakan kepadanya, bahwa Allah Swt. telah menerima sedekahmu, memberi balasan terhadap kebaikan niatmu, dan memberimu pahala andaikata kamu memiliki makanan sebanyak (gundukan bukit pasir itu), lalu kamu menyedekahkannya.”
“Barangsiapa menikahi seorang wanita dengan suatu maskawin, sedangkan ia punya niat untuk tidak memenuhinya, maka dia adalah seorang pezina. Dan barangsiapa berhutang, kemudian Ia punya niat tidak akan membayar, maka dia itu adalah pencuri.”
Hakikat Niat
Hakikat niat adalah, kemauan yang mendorong kekuatan yang lahir dari pengetahuan. Penjelasannya, bahwa seluruh pekerjaan Anda tidaklah absah tanpa kekuatan, kemauan dan ilmu. Ilmu menggerakkan kemauan. Kemauan merupakan motivasi dan pendorong kekuatan; dan kekuatan adalah alat, sarana dan pembantu kemauan dengan menggerakkan seluruh organ.
Misalnya, Allah menciptakan nafsu makan kepada diri Anda, hanya saja nafsu makan itu tenang, seakan-akan tidur. Bila mata Anda terantuk pada makanan, secara otomatis timbul pengetahuan tentang makanan tersebut, lalu bangkitlah nafsu makan Anda. Kemudian tangan Anda memungutnya. Sementara kerja tangan Anda memungut makanan itu dengan kekuatan yang tersimpan di dalamnya, yakni kekuatan yang patuh pada isyarat perintah nafsu makan. Nafsu makan itu bangkit karena adanya pengetahuan tentang makanan yang lahir dan penjelajahan indera rasa. Begitu juga ketika diciptakan selera nafsu/keinginan kepada sesuatu yang tampak di depan Anda, juga diciptakan pada diri Anda keinginan pada kelezatan-kelezatan yang akan datang. Kecenderungan dan kemauan semacam ini bangkit dari pengetahuan yang lahir dari akal pikiran. Dan kekuatan ikut membantu kecenderungan atau kemauan ini dengan menggerakkan organ.
Jadi niat itu adalah, kecenderungan atau kemauan kuat yang merupakan motivator bagi kekuatan. Karenanya, orang yang berperang, bisa saja motifnya adalah kecenderungan pada harta-benda, jadi itulah niatnya. Bisa juga motifnya adalah kecenderungan pada pahala akhirat, maka itulah niatnya.
Jadi niat itu adalah kemauan yang mendorong. Kemudian, makna dan keikhlasan niat itu sendiri adalah kemurnian unsur pendorong, yang bersih dari unsur lainnya.
Dorongan Niat
Jika suatu amal perbuatan dapat terealisasi dengan dorongan niat, maka niat dan amal merupakan ibadat yang sempurna. Niat merupakan satu dari dua sisi ibadat, namun merupakan sisi yang terbaik dan paling vital. Karena amal perbuatan dengan organ tubuh tidak akan mengenai sasaran, kecuali punya pengaruh dalam hati, yakni agar cenderung pada kebaikan dan jauh dari keburukan. Sehingga berpikir dan berdzikir mampu mengantarkan pada kesenangan jiwa dan ma’rifat, yang keduanya merupakan faktor bagi kebahagiaan di akhirat. Jadi, tujuan dan maksud dari meletakkan dahi di atas tanah bukanlah semata-mata peletakan dahi di atas tanah ansich; tetapi, ketundukan hati, sedangkan hati itu dapat dipengaruhi dengan perbuatan-perbuatan organ tubuh.
Tujuan zakat itu bukan untuk menghilangkan hak milik, tapi untuk memusnahkan kehinaan sifat kikir. Yakni, memotong ketergantungan hati dengan harta-benda. Tujuan dari penyembelihan binatang kurban bukanlah daging dan darahnya, tapi rasa ketakwaan hati dengan mengagungkan dan membesarkan syiar-syiar Allah Swt. Dan niat merupakan kecenderungan hati itu sendiri pada kebaikan. Itu adalah inti dari yang dituju dan lebih baik dari perbuatan organ-organ tubuh, dimana tujuan sebenarnya adalah penyerapan pengaruhnya ke dalam kalbu, yang menjadi tempat yang dituju. Karena itulah seluruh amal hati mewarisi pengaruh bentuk apa pun, namun bukan amal anggota badan. Perbuatan anggota badan tanpa kehadiran hati merupakan hal yang sia-sia belaka.
Walaupun memang disengaja, pengobatan sakit perut dengan obat yang diminum, jelas Iebih mujarab daripada obat yang dioleskan pada bagian luar perut, agar reaksi olesan obat itu mengalir ke dalam perut. Demikian sebaliknya, bila pengaruh obat oles itu tidak dapat meresap ke dalam perut, tentu sakit perut itu tidak akan sembuh. Dengan penjelasan ini, diketahuilah rahasia sabda Rasulullah Saw:
“Niat seorang Mukmin lebih baik dari amal perbuatannya.” (Al-Hadis).
Keutamaan Niat.
Niat memiliki keutamaan, karena di situlah inti tujuan itu bersemayam dan berpengaruh. Karena itu, banyak-banyaklah Anda berniat dalam seluruh amal perbuatan, bahkan Anda bisa beramal satu amaliah saja dengan niat yang banyak. Jika kemauan dan kecintaan Anda itu benar, niscaya Anda akan diberi petunjuk jalannya. Dalam hal ini, cukup bagi Anda satu contoh saja. Masuk dan berdiam di dalam masjid adalah ibadat, dan itu bisa dilakukan dengan delapan macam niat:
Pertama, Anda yakin bahwa masjid adalah rumah Allah (Baitullah). Orang yang memasuki masjid berarti datang menemui Allah; Anda pun berniat untuk berjumpa dengan Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa duduk di dalam masjid, berarti dia berkunjung kepada Allah Swt.” Hak pihak yang dikunjungi adalah menghormati pengunjungnya.
Kedua, niat untuk mengikat diri dengan Allah Swt. (murabathah).
Firman Allah Swt.: ”…dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga…” (Q.s. Ali-Imran: 200).
Ada yang berkomentar, maksudnya adalah menunggu datangnya salat setelah melaksanakan salat sebelumnya.
Ketiga, niat i’tikaf. Maksudnya adalah, mencegah pendengaran, penglihatan dan organ tubuh dari kebiasaan bergerak-gerak. I’tikaf adalah bentuk lain dari puasa.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kerahiban ummatku adalah duduk di dalam masjid.” (Al-Hadis).
Keempat, niat untuk khalwat dan meninggalkan segala kesibukan untuk merenungkan kehidupan akhirat, serta cara mempersiapkan diri menghadapinya.
Kelima, memusatkan diri untuk dzikir dan mendengarkan dzikir, atau memperdengarkannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa menuju masjid untuk mengagungkan Allah Swt. atau menyebut-Nya, maka dia itu seperti pejuang di jalan Allah Swt.”
Keenam, bermaksud untuk mengamalkan ilmu, memberi peringatan kepada orang yang keliru ketika melakukan salat, ber-amar ma’ruf nahi munkar, sehingga dengan demikian kebaikan itu terwujud bersamanya.
Ketujuh, meninggalkan dosa-dosa karena malu kepada Allah Swt., dengan jalan melakukan niat yang baik dalam diri, perkataan dan amal perbuatan, sehingga orang yang berbuat dosa pun merasa malu.
Kedelapan, Anda berniat mengambil faedah pada saudara seakidah, sebab yang demikian itu merupakan simpanan berharga bagi kehidupan akhirat.
Masjid merupakan tempat utama (markas) pemeluk agama yang cinta kepada dan, dalam Allah. Analogikan seluruh amal perbuatan dengan hal ini, dengan berhimpunnya niat-niat tersebut dapat membersihkan amal-amal Anda, sehingga mencapai derajat amal muqarrabun. Sebagaimana juga, kontra pada niat baik tersebut dapat mengantarkan pada perbuatan setan. Seperti orang yang berdiam di masjid dengan niat berbicara batil, memfitnah dan membicarakan sifat-sifat orang lain, menemani orang yang suka bermain-main dan bersenda-gurau, memperhatikan wanita dan anak-anak, melihat orang yang berdebat dengan sesama teman dengan motivasi egois dan popularitas, agar orang-orang yang mendengarkan ucapan dan pembicaraannya merasa rendah.
Demikian pula tidaklah semestinya melalaikan niat yang baik dalam urusan-urusan yang dibolehkan (mubah) di masjid.
Disinyalir dalam sebuah hadis, bahwa pada hari Kiamat nanti seorang hamba ditanya tentang segala sesuatu, hingga tentang celak pada kedua matanya, pecahan-pecahan tanah yang diremukkan oleh jari-jemarinya, dan sentuhan tangannya terhadap pakaian saudaranya.
Contoh niat dalam hal-hal yang dibolehkan adalah, orang yang mengenakan parfum atau bersolek pada hari Jum’at. Bisa saja tujuannya untuk menikmati kenyamanannya dan memamerkan kekayaannya untuk menarik simpati wanita, dan menebarkan kerusakan. Ada pula yang niatnya mengikuti sunnah, menghormati rumah Allah, menghormati hari Jum’at, untuk menghilangkan bau tidak sedap yang bisa dihirup oleh orang lain, agar bau semerbak itu sampai kepada mereka, sehingga mencegah timbulnya ghibah bila mereka mencium bau tidak sedap darinya.
Tentang dua kelompok ini, Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa mengenakan wewangian karena Allah, pada hari Kiamat nanti semerbak harumnya lebih dari semerbak minyak misik. Dan barangsiapa mengenakan wewangian karena selain Allah, pada hari Kiamat nanti baunya lebih busuk dari bangkai.” (Al-Hadis).
Kategori Niat
Perlu diingat, bahwa niat bukanlah masuk dalam kategori ikhtiar. Karena itu, seharusnya Anda tidak tertipu, sehingga Anda berkata dengan lisan dan hati Anda, ”Aku duduk di masjid dengan niat ini dan itu.” Lalu Anda mengira bahwa diri Anda telah melakukan niat. Padahal sebelum itu, Anda telah tahu bahwa niat itu adalah pendorong yang menggerakkan amal. Apabila niat tidak ada, amal pun tidak terwujud.
Niat yang dibuat-buat, seperti ucapan Anda, “Aku berniat untuk menyayangi si Fulan, mencintai dan mengaguminya.” Atau Anda berkata, “Aku berniat untuk haus, atau lapar, atau kenyang.”
Pertama, Anda yakin bahwa masjid adalah rumah Allah (Baitullah). Orang yang memasuki masjid berarti datang menemui Allah; Anda pun berniat untuk berjumpa dengan Allah Swt.
Seluruhnya memiliki faktor dan sebab, yang bisa mewujudkannya.
Dengan kata lain, semuanya tidak dapat terwujud tanpa sebab dan faktor-faktor dimaksud. Orang yang berkata, “Aku meniatkannya sebelum terwujud.” Hal itu sebenarnya merupakan angan-angan belaka, bukan niat.
Orang yang bersetubuh karena dikuasai gejolak nafsu seks, bagaimana mungkin menggunakan niatnya, ”Aku berniat melakukan persetubuhan untuk mendapatkan keturunan,” dan mungkin untuk memperbanyak anak dengan tujuan berbangga-bangga diri. Bahkan niat ketika bersetubuh, tidak akan terbersit dari hati Anda, kecuali iman Anda kokoh dan pengetahuan tentang kerendahan nilai kebahagiaan dunia dan besarnya nilai pahala akhirat merupakan pengetahuan yang sempurna; sehingga iman dan pengetahuan dapat menguasai Anda. Dari situlah secara otomatis lahir kecintaan Anda kepada segala hal yang mengantarkan pada perolehan pahala akhirat. Sebaliknya, bila rasa cinta itu tidak lahir, berarti Anda ketika itu tidak punya niat. Karena itulah, sejumlah ulama salaf menahan diri untuk melakukan beberapa kebaikan; bahkan dituturkan bahwa Muhammad bin Sirin tidak menyalati jenazah Hasan Al-Bashri dengan alasan, “Niat belum hadir di hatiku.”
Konon pernah dikatakan kepada Thaus, “Doakan kami!”
“Aku akan mendoakan kalian setelah mendapatkan niat untuk kepentingan itu.”
Di antara mereka berkata, ”Aku, sejak sebulan yang lalu berupaya mencari niat untuk menjenguk seseorang. Maka, aku menunggu kebenaran niatku.”
Orang yang tahu tentang hakikat niat dan mengetahui pula bahwa niat merupakan jiwa (ruh) dari amal perbuatan, maka dia tidak akan disibukkan oleh amal perbuatan yang tanpa jiwa (ruh). Hal ini menguatkan bahwa suatu hal yang mubah bisa saja lebih utama dari suatu ibadat jika disertai dengan niat.
Orang makan dan minum tanpa niat berpuasa saat itu, dengan niat agar mampu melaksanakan ibadat, maka tindakan makan dan minum itu lebih utama.
Orang yang bosan melakukan ibadat dan tahu bahwa dengan tidur semangatnya bisa pulih kembali, maka tidur lebih utama baginya. Bahkan jika pada saat-saat tertentu menghibur diri dengan kelakar dan senda-gurau mampu membangkitkan semangatnya, maka kegiatan menghibur diri itu lebih utama baginya daripada melakukan salat yang disertai dengan rasa bosan.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak merasa bosan, kecuali kalian merasa bosan.” (Al-Hadis).
Abu Darda’ berkata, ”Aku berupaya mengistirahatkan jiwaku, dengan suatu bentuk senda-gurau. Itu bisa menjadi sarana pembantu bagiku untuk mewujudkan kebenaran.”
Ali r.a. berkata, “Hibur dan istirahatkanlah jiwa itu, sebab bila terusmenerus merasa sedih, dia jadi gagap dan tidak cakap.”
Hal-hal mendetail seperti inilah yang terasa amat sulit dan berat di mata para ahli dzahir, fuqaha’, seperti ketidakberdayaan seorang dokter untuk mengobati orang yang sakit panas dengan daging. Sementara dokter ahli kadang-kadang menyuruh mengembalikan tenaga sang pasien, sehingga hal itu menjadi obat yang mujarab.
Allah Swt. telah berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Q.s. Al-Bayyinah: 5).
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Q.s. Az-Zumar: 3).
Firman-Nya pula:
“Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh kepada (agama) Allah yang tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah.” (Q.s. An-Nisa’: 146).
Nabi Muhammad Saw. bersabda, ”Allah Swt. berfirman dalam Hadis Qudsi: ‘Ikhlas itu adalah salah satu rahasia dan rahasia-Ku, yang Kutitipkan dalam kalbu beberapa hamba-Ku yang Kucintai’.”
Rasulullah Saw. bersabda kepada Mu’adz, “Ikhlaslah dalam beramal, niscaya kamu dapat imbalan (banyak) dan amal yang sedikit .“
Sabda beliau pula: “Siapa pun seorang hamba melakukan amal perbuatan dengan ikhlas selama empatpuluh hari, maka memancarlah hikmah dari kalbu melalui lisannya.”
Hakikat Ikhlas
Hakikat ikhlas adalah pemusatan satu motivasi. Lawannya adalah dualisme. Yakni, dualisme dalam motivasi, sehingga setiap hal yang berkembang selalu dicampuri dengan unsur lain. Apabila terbebas dari segala bentuk campur unsur lain bisa disebut murni.

Anda telah tahu, bahwa niat itu merupakan pendorong. Orang yang beramal tanpa riya’ itu disebut mukhlish. Orang yang beramal hanya karena Allah disebut mukhlash. Namun ada istilah khusus bagi keduanya. Ingkar misalnya, adalah bentuk kecenderungan, namun kecenderungan dalam konteks kebatilan. Kami telah mensinyalir tentang punahnya keikhlasan karena intervensi riya’, namun demikian, rasa ikhlas itu dapat punah pula karena motif-motif dan tujuan-tujuan lainnya. Orang yang berpuasa kadang-kadang bermaksud untuk memperoleh perlindungan, kesehatan yang prima yang bisa dilahirkan dengan berpuasa. Orang yang memerdekakan seorang budak bisa saja bertujuan supaya aman dari kejahatan budak tersebut.
Orang yang menunaikan ibadat haji mungkin saja bertujuan agar sehat dengan gerakan-gerakan tubuh dalam perjalanannya itu. Atau dia lari dari problem keluarga, atau lari dari penganiayaan musuh ataupun kejenuhan bersama keluarga.
Seorang pelajar menuntut ilmu, ada pula yang bertujuan agar mudah mencari penghidupan, atau agar aman —dengan kekuatan ilmu yang diperoleh— dari kezaliman, atau untuk menulis buku-buku agar bisa menulis dengan lancar. Atau dia melakukan haji dengan berjalan kaki untuk memperingan bekal. Dia berwudhu’ untuk membersihkan diri atau agar mendinginkan organ tubuh.
Orang mandi, ada yang berniat agar berbau sedap. Beri’tikaf untuk memperingan beban tempat tinggal. Dia berpuasa untuk memperingan beban untuk memasak dan membeli makanan. Memberi sedekah untuk menahan diri dari kejembelan seorang pengemis, atau menjenguk orang sakit agar dijenguk pula bila sakit. Niat-niat dan tujuan-tujuan semacam itu kadang-kadang lepas dan kadang-kadang bercampur-aduk dengan tujuan ibadat. Jika salah satu tujuan seperti disebutkan di atas terbetik dalam sebuah amal perbuatan, itu artinya keikhlasan telah punah. Ini merupakan suatu hal yang cukup alot dan sulit. Karena itulah sebagian mereka berkata, “Ikhlas satu jam adalah kesuksesan abadi. Namun hal itu sangat berat.”
“Berbahagialah orang yang satu langkah hidupnya tidak ditujukan, kecuali demi Allah Swt.,” kata Abu Sulaiman Ad-Darany.
Ma’ruf Al-Karkhy memukul-mukul dirinya seraya berkata, “Wahai jiwaku, wahai diriku, bertulus-ikhlaslah engkau, agar engkau selamat!”
Derajat Dualisme.
Perlu diingat, bahwa dualisme niat itu berperingkat: Kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah, tapi terkadang juga berimbang (sejurus) dengan tujuan ibadat, dan itu tidak menafikan pahala dalam hal-hal mubah. Sungguhpun unsur lain dari tujuan karena Allah itu ada, tapi pahala atau imbalan yang diterimanya sesuai dengan kadar unsur tersebut, yang mencampurinya. Sedangkan sisanya tidak memperoleh imbalan pahala.
Jika dalam suatu ibadat yang harus dilaksanakan dengan ketulus ikhlasan kepada Allah Swt., unsur dualisme niatnya menang atau lebih tinggi, maka ibadat itu batal (gugur). Kemudian apabila dualisme niat itu sama (sebanding) atau kalah, maka keikhlasannya batal. Bisakah seluruh unsur dualisme itu dinafikan secara keseluruhan?
Dalam hal ini terdapat beberapa penjelasan dalam Bab “Riya”. Untuk lebih jelasnya, silakan Anda merujuk pada kitab Al-Ihya’.
PILAR KETIGA : Kejujuran
Kejujuran adalah kesempurnaan ikhlas. Allah Swt. berfirman, ”Ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah …“ (Q.s. Al-Ahzab: 23).
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang jujur dan membiasakan diri berlaku jujur, maka dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Allah Swt. berfirman: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam AlKitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (sangat jujur) lagi seorang Nabi.” (Q.s. Maryam: 41).
Ada enam tingkatan kejujuran. Orang yang mencapai derajat kejujuran yang sempurna layak disebut sebagai orang yang benar-benar jujur, antara lain:
Pertama, jujur dalam perkataan, di setiap situasi, baik yang berkaitan dengan masalalu, kini dan yang akan datang. Kejujuran ucapan ini punya dua sisi kesempurnaan:
  1. Waspada terhadap ucapan yang bersifat pamer. Walaupun ucapan itu sendiri benar adanya, tapi dipahami sebagai lawan kata dan kebenaran. Kedustaan yang diwaspadai dipahami sebagai lawan kebenaran, sebab hati mendapatkan bentuk kedustaan yang berasal dari dusta lisan. Dan bila arah hati telah bergeser dari kebenaran menuju arah yang menyimpang, maka kebenaran itu tidak dapat mengejawantah pada hati secara benar, sehingga penglihatan-penglihatan hati tidak benar/jujur pula. Penampakan amal itu tidak masuk dalam kategori ini sebab ia sendiri merupakan kejujuran, atau suatu hal yang benar adanya. Namun, penampakan amal itu terjerumus dalam larangan.
  2. Masa bodoh terhadap arti ucapan. Ini tidak seharusnya dilakukan, kecuali dengan tujuan yang benar. Penyempurnaan sisi kedua ini adalah hendaknya memelihara kejujuran dalam seluruh pembicaraan bersama Allah Swt. Jadi, ketika mengucapkan, ”Aku hadapkan wajahku,” kemudian dalam hatinya terbetik sesuatu selain Allah, maka dia itu adalah pendusta.
    Selanjutnya, pada saat mengucapkan, “Kepada-Mu aku menyembah,” padahal dirinya adalah budak dunia atau budak hawa nafsunya, atau budak orang lain, tentu sulit sekali pembenaran ucapan itu pada hari Kiamat nanti. Karena itulah, Nabi Isa as. berkata, “Wahai budak dunia!”
Dan Nabi Saw. kita bersabda: “Celakalah hamba dirham dan hamba dinar!” (Al-Hadis).
Kedua, kejujuran dalam niat. Hal itu berupa pemurnian, yang menjurus pada kebaikan. Jika di dalamnya terdapat unsur campuran lainnya, berarti kejujuran kepada Allah Swt. telah sirna. Karenanya, orang semacam itu disebut, “Si jujur bermuka masam, dan si jujur bermuka manis”.
Apabila murni, hal itu dikembalikan pada substansi keikhlasan itu sendiri.
Ketiga, kejujuran dalam bertekad. Seseorang bisa saja mempunyai tekad yang bulat untuk bersedekah bila dikaruniai rezeki. Juga bertekad untuk berbuat adil bila dikaruniai kekuasaan. Namun adakalanya tekad itu disertai dengan kebimbangan, tapi juga merupakan kemauan bulat yang tanpa keragu-raguan. Orang yang mempunyai tekad yang bulat lagi kuat disebut sebagai orang yang benar-benar kuat dan jujur.
Keempat, memenuhi tekad. Seringkali jiwa dibanjiri dengan kemauan yang kuat pada mulanya, tapi ketika menginjak tahap pelaksanaan, bisa melemah. Karenajanji tekad yang bulat itu mudah, namun menjadi berat ketika dalam pelaksanaan.
Oleh karena itu, Allah Swt. berfIrman: ”Ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.” (Q.s. A1-Ahzab: 23).
Allah swt. juga berfirman: “Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah … dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga,) karena mereka selalu berdusta.” (Q.s. At-Taubah: 75-7).
Kelima, kejujuran dalam beramal. Tidak mengekspresikan hal-hal batin, kecuali batin itu sendiri memang demikian adanya. Artinya, perlu adanya keselarasan dan keseimbangan antara yang lahir dan yang batin. Orang yang berjalan tenang misalnya, menunjukkan bahwa batinnya penuh dengan ketentraman. Bila ternyata tidak demikian, dimana kalbunya berupaya untuk menoleh kepada manusia, seakan-akan batinnya penuh dengan ketentraman, maka hal itu adalah riya’. Sebaliknya, bila hatinya tidak berpaling kepada manusia, tapi tiba-tiba lalai, itu bukanlah riya’. Namun dengan demikian, kejujuran menjadi sirna, karenanya Rasulullah Saw. pun berdoa: “YaAllah, jadikanlah batinku lebih baik daripada lahirku, dan jadikanlah untukku ekspresi lahir yang baik.”

Abdul Wahid berkata, “Hasan Bashri adalah orang yang paling tekun melakukan amal yang diperintahkan, dan paling keras meninggalkan sesuatu yang dilarang. Aku belum pernah menyaksikan orang yang batinnya sama dengan lahirnya.”
Keenam, kejujuran dalam maqam-maqam agama. Ini adalah peringkat kejujuran tertinggi. Seperti maqam takut (khauf), harapan (raja’), cinta (hubb), ridha, tawakal dan lain-lain.
Seluruh maqam tersebut memiliki titik tolak, hakikat dan puncak akhir (klimaks). Sebab dinyatakan pula, “Ini adalah rasa takut yang benar (al-khaufus-shadiq)”, dan, ”ini ada!ah kesenangan yang jujur/ benar (as-syahwah as-shadiq)”. Itu!ah sebabnya Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.s. Al-Hujurat: 15).
Firman-Nya pula: ”Akan tetapi, sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); ….“ (Q.s. Al-Baqarah: 177).
Inilah tingkatan-tingkatan kejujuran. Orang yang mampu mewujudkannya secara keseluruhan, dialah orang yang benar-benar jujur. Orang yang belum mampu mencapai sebagian peringkat kejujuran, tingkatan dirinya sesuai dengan kadar peringkat kejujuran yang telah digapainya.
Di antara sejumlah kejujuran adalah, pembenaran kalbu bahwa Allah Swt. adalah Maha Pemberi rezeki, dan bertawakal kepada-Nya. Inilah yang perlu kita ingat!

catatan kecil Soal diri

LAA MAUJUD ILLALLAH "Tiada yang wujud kecuali Allah" LAA MAQSUD ILLALLAH "Tiada tujuan kecuali hanya ...